Rabu, 26 November 2014

F.X. Khoe Hok Tiong, Hidayah Lewat Pesona Kopiah Hitam

Khoe Hok Tiong alias Pudjihato, seorang karyawan swasta di Jakarta, ia mempunyai nama baptis Fransiscus Xaverius dan salah satu aktivis Gereja Persekutuan Doa Oikumene. Di tempat kerjanya ia dipercaya sebagai Sales and Marketing Manager. Tetapi, sekitar tahun 1989, karirnya banyak mengalami kemunduran. Sebagai manajer penjualan dan pemasaran, ia dituntut untuk mengambil keputusan strategis, dan karena sesuatu hal, terkadang keputusan yang diambilnya sering tidak tepat. Ternyata semua itu karena faktor rumah tangga, ketenteraman rumah tangganya turut mempengaruhi karir dan produktivitasnya.
Rumah tangga yang dibinanya sejak tahun 1986 dan sudah membuahkan dua orang putra, mengalami goncangan. Sebenarnya perkaranya kecil dan sepele, tetapi ternyata bisa menjadi besar, dan rumah baginya seperti di neraka saja rasanya. Karena persoalan rumah tangga itu, ia tidak konsentrasi dalam bekerja, dan produktivitasnya menurun. Sebagai kompensasi, ia sering keluyuran sekadar mencari ketenangan batin. Gereja yang sekian lama menjadi tempat yang paling damai ternyata tidak mampu menepis kegundahan hatinya. Ia justru menjadi semakin jauh dari gereja. Karena sama-sama keras, akhirnya ia tidak mampu lagi mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Meskipun dalam agama Katolik bercerai itu diharamkan, dengan terpaksa dan berat hati ia menceraikan istrinya, apalagi kedua anaknya masih kecil-kecil. Bulan Januari 1991 ia resmi bercerai, dan kedua anaknya dibawa oleh istrinya ke Kutoarjo, Jawa Tengah. Sebagai ayah, ia sangat mencintai anak-anaknya, tetapi apa mau dikata, mungkin ini sudah menjadi suratan takdir, dan ia hanya bisa ‘menyerahkan’ nasib kedua anaknya kepada Tuhan.
Antara bulan Januari sampai Juni 1991, ia merasa dirinya menjadi orang kafir, karena selama enam bulan itu ia tidak pernah lagi menginjakkan kakinya ke gereja. Tetapi selama masa "kekafiran" itu, banyak hal aneh yang dijumpainya. Seperti ketika pada suatu sore pada bulan Mei 1991, ia berkunjung ke Toko Buku Wali Songo di daerah kwitang, Jakarta Pusat. ia heran melihat begitu banyak orang keluar masuk toko buku tersebut. Ketika ia terus masuk ke bagian dalamnya, ia melihat banyak orang yang membersihkan diri di kran air. Saat itu ia tidak tahu kalau orang-orang tersebut sedang berwudhu untuk menunaikan shalat maghrib. Tidak lama kemudian terdengar seruan keras (suara azan) dari bagian atas. Meskipun ia sudah pernah ke sana dua tahun yang lalu, tetapi baru hari itu ia tahu kalau di toko buku itu ada masjidnya.
Sesaat dalam kebimbangan, mungkin didorong oleh rasa keingin-tahuannya, ia memutuskan untuk bergabung dengan orang-orang tersebut. Ia ikut ‘meniru’ berwudhu, setelah memperhatikan beberapa orang mengambil wudhu. Setelah itu, iapun ikut shalat magrib berjamaah. Sampai sejauh itu, tidak satu pun di antara jamaah yang mengetahui bahwa ada seorang non muslim yang ikut shalat berjamaah bersama mereka. Peristiwa yang terjadi tanpa rencana dan begitu spontan itu, ternyata membuat kesan yang amat mendalam pada jiwanya. Ia baru memahami betapa luhurnya ajaran Islam itu. "Untuk menghadap Tuhannya, orang Islam harus benar-benar dalam keadaan bersih," Begitu kata hatinya ketika merenungkan peristiwa itu di malam harinya.
Beberapa hari berikutnya, pandangan matanya seperti ada yang mengarahkan. Selama beberapa hari, secara kebetulan, ia selalu saja menjumpai masjid di mana pada saat itu bertepatan dengan kumpulan orang yang sedang berwudhu. Semua yang dilihatnya itu terekam jelas di otaknya dan pada malam harinya selalu menjadi bahan renungannya. Pada suatu hari ia melihat seseorang memakai kopiah hitam. Sebenarnya itu hal yang biasa dan telah sering dialaminya, tetapi, entah mengapa, pada hari itu ia begitu terpesona. Ia bergumam, "Alangkah agung dan wibawanya orang itu. Aku heran, mengapa tidak semua orang Islam berkopiah. Alangkah baiknya kalau semua orang Islam memakai kopiah, biar tampak agung dan berkharisma!!”
Beberapa hari kemudian ia kembali menjumpai hal yang sama, akhirnya ia benar-benar tertarik dengan kopiah hitam. Singkatnya, ketika singgah ke sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, ia membeli kopiah hitam dan langsung memakainya. Orang-orang di pusat perbelanjaan itu tampak heran, ada seorang bertampang Tionghoa, dengan penampilan khas seorang eksekutif muda dan berdasi, tetapi memakai kopiah. Dilihat seperti itu, tentu saja membuatnya salah tingkah. Sejak itu ia selalu berkopiah, kecuali di rumah dan di kantor, karena masih merasa malu.
Tentang kopiah ini, ada satu peristiwa yang menarik. Ketika ia singgah di pusat perbelanjaan di Jalan Gajah Mada, ia berpapasan dengan seorang gadis cantik. Sebagai manusia normal, timbul naluri kelelakiannya untuk menggoda gadis itu. Apalagi ia seorang duda yang kesepian, tentulah amat wajar. Tetapi, ketika ia ingin menghampiri sang gadis, secara refleks tangannya bergerak menyentuh kopiah yang sedang dipakainya, dan spontan batinnya berkata, "Aku kan muslim."
Niat menggoda sang gadis batal, tetapi yang membuatnya kaget bercampur heran, mengapa hatinya dapat berkata "Aku muslim"? Padahal pada saat itu ia belum lagi bersyahadat. Kejadian yang seperti itu berulang dua kali, di tempat yang berbeda, dan malam harinya ia tidak dapat tidur. Ia heran memikirkan suara hatinya yang menyatakan dirinya seorang muslim, padahal ia belum menjadi seorang muslim. Tetapi ia bersyukur, dengan kopiah itu jiwanya seperti punya kendali, jalannya seperti terbimbing ke satu arah yang pasti.
Pada suatu senja menjelang isya, ketika ia pulang ke rumah di daerah Jatinegara, kebetulan ia melewati sebuah masjid. Entah dorongan dari mana, tiba-tiba kakinya melangkah masuk ke halaman masjid. Dan ia kembali ikut berwudhu dan kemudian shalat bersama jamaah masjid itu. Malam harinya ia kembali merenung tentang keanehan-keanehan yang dialaminya. Tetapi, kali ini keinginannya hanya satu, ingin masuk Islam.
Setelah melewati proses berpikir yang cukup panjang akhirnya ia memutuskan untuk berkonsultasi ke sekretariat PITI (Pembina Iman Tauhid Islam) di Masjid Istiqlal, Jakarta. Setelah mendapat informasi, tekadnya tambah mantap. Ada suatu keanehan yang terjadi setelah ia pulang dari Masjid Istiqlal. Ketika tiba waktu magrib, ia mendengar alunan azan yang amat merdu. Setelah azan selesai, telinganya seperti mendengar bisikan, "Sembahyanglah kamu."
Ketika saya menoleh ke kiri dan kekanan, tidak ada seorangpun di sekitarnya. Ia tidak tahu dari mana datangnya suara gaib itu. Kejadian seperti itu berlangsung hingga tiga kali, pada waktu dan tempat yang berbeda. Singkat cerita, pada hari Rabu, 24 Juli 1991, pukul 10.00 WIB, bertempat di sekretariat PITI di Masjid Istiqlal Jakarta, ia mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat.
Setelah resmi menjadi seorang muslim, ia memutuskan untuk mendalami Islam di Pondok Pesantren Gentur, Sukabumi, Jawa Barat. Oleh Pak Kiai, namanya diganti menjadi Abdul Rasyid. Selain mempelajari Al-Quran, ia juga giat berdzikir. Ia berkata, "Sekarang hati saya benar-benar plong, tanpa beban. Alhamdulillah, saya telah menemukan kebahagiaan yang sejati!!”[Albaz]

Disunting dari : F.X. Khoe Hok Tiong : Tertarik Kopiah Hitam
Swaramuslim.net, Journey to Islam,  Redaksi 01 Nov 2003 - 11:10 pm  (1.007)

Hermanus Paulus Poli, Menjemput Hidayah di Penjara

Hermanus Paulus Poli, dari namanya jelas bahwa ia seorang pemeluk Nashrani, tepatnya Kristen Protestan. Boleh dibilang keluarganya adalah penganut Kristen yang taat saat itu. Ayahnya seorang pensiunan sebuah BUMN yang bergerak di bidang perbankan, dan ibunya seorang arkeolog. Setelah menyelesaikan S1-nya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), jurusan ilmu politik di salah satu universitas negeri di Indonesia, ia berangkat ke Gold Coast University, Australia untuk menyelesaikan S2. Namun baru saja duduk di semester tiga di tahun pertama, kuliahnya terganggu karena ulahnya sendiri. Memang, sejak kuliah ia sudah mencandu narkoba. Ia tinggal bersama tiga orang kawan di apartemennya, yang semuanya pecandu narkoba.
Di kampus, teman-temannya ada juga yang beragama Islam, dan ia tidak pilih-pilih dalam bergaul, termasuk rekan-rekan muslimnya itu. Ia seringkali terlibat diskusi seputar persoalan agama dengan mereka, khususnya membicarakan konsep ketuhanan agama masing-masing. Semula ia tidak menyukai topik diskusi ini, karena sebagai seorang Kristiani, ia merasa minder dan rendah diri. Dalam hati ia mengakui, betapa jelas konsep ketuhanan dalam Islam, yaitu Allah Yang Maha Esa. Sangat jelas bahwa Tuhan itu sebenarnya memang Maha Esa dan Maha Besar.
Setelah berlangsungnya diskusi-diskusi seperti itu, sedikit atau banyak, timbul keraguan dalam hatinya tentang konsep ketuhanan Kristiani yang bisa dikatakan membingungkan. Terkadang penganut Kristiani harus meyakini Yesus Kristus sebagai Tuhan. Namun di sisi lain, Injil sendiri memuat ayat kalau Yesus sendiri menyangkal kalau dirinya adalah Tuhan. Dengan terang-terangan Yesus menyuruh untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Satu (ternuat dalam Yesaya 17: 3). Makin lama keraguannya terhadap ajaran Kristiani, khususnya ketuhanan, tak dapat dielakkan, baginya konsep Trinitas dalam Kristen sangat kacau.
Pada suatu kesempatan, Hermanus mencoba mengambil mushaf al-Qur’an terjemahan milik salah seorang temannya. Semula ia ingin mempelajari isi al-Qur’an tersebut demi mencari kelemahan-kelemahan agama Islam, sehingga ia mempunyai ‘bahan’ untuk berdiskusi dengan mereka. Namun, semakin dalam ia merenungi ayat-ayat al-Qur’an, hatinya semakin takjub terhadap Islam. Betapa jelas konsep Ketuhanan yang dipaparkan Islam melalui surat al-Ikhlash, betapa gamblangnya dialog Allah dan Yesus (Nabi Isa AS) yang diabadikan dalam surat al-Maidah ayat 116. Dan banyak lagi ayat-ayat lainnya.
Terlepas dari ‘pengaruh’ Islam dalam dirinya, akibat pergaulan dengan teman sekamar (se-apartemen) yang pecandu narkoba, kondisinya di Autralia kian hari kian memburuk. Kecanduannya terhadap barang-barang terlarang itu makin sulit dilepaskan, dan kuliahnyapun jadi berantakan. Karena dipikirnya lebih banyak membuang waktu percuma, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta.
Di Jakarta, Hermanus bersama beberapa temannya mendirikan usaha di bidang entertaimen dan lebih mengutamakan bidang promosi (event organizer). Usahanya berkembang pesat, tapi ternyata kecanduannya terhadap putaw sulit untuk dilepaskan. Sebenarnya seluruh keluarganya sudah tahu tentang kebiasaan buruknya ini, tetapi mereka tidak mempermasalahkan. Mereka telah maklum, apalagi ia adalah anak bungsu yang keras kepala. Berkali-kali ia dibawa berobat ke dokter spesialis dan pusat rehabilitasi mental untuk menghilangkan penyakit kecanduan ini, namun hasilnya selalu nihil. Dua atau tiga bulan kemudian selalu saja ia kembali mencandu.
Terlepas dari penyakit kecanduannya, dan juga terlepas dari keraguannya terhadap ajaran Kristen, khususnya masalah Ketuhanan, setiap hari Minggu ia selalu pergi ke gereja bersama keluarganya. Tetapi sayangnya, dalam suasana ‘ibadah’ di gereja, ia tidak menemukan sesuatu yang dapat menyadarkannya dari ‘kebohongan’ gereja. Ia benar-benar merasa hampa, apalagi seorang pendeta yang pernah diminta penjelasan tentang berbagai keraguannya itu tak dapat memberikan jawaban yang dapat memuaskannya.
Suatu hari di tanggal 12 September 2002, sepulang dari membeli putaw, Hermanus tertangkap oleh polisi, dan digiring ke Polres Menteng, Jakarta Pusat. Ia diinterogasi dan akhirnya ditahan. Perasaannya saat itu biasa saja, bahkan tidak ada kekhawatiran sama sekali, karena ia yakin bahwa keluarganya pasti bisa membebaskannya. Mereka memang punya relasi yang luas, baik di kepolisian ataupun di birokrasi. Tetapi semuanya di luar dugaan, usaha keras keluarganya untuk mengeluarkannya dari penjara dan juga dari jeratan hukum ternyata tidak berhasil. Ia pun mulai ketakutan di dalam penjara. Setelah hari ketiga sejak penangkapan, ia ditempatkan dalam sel yang dipenuhi para tahanan. Gelisah, takut, dan marah, semuanya bercampur dalam dada, tetapi dengan uang, ia bisa mengendalikan para preman di dalam penjara.
Saat hari Minggu tiba ada pendeta yang datang untuk kebaktian bagi tahanan yang beragama Kristen, iapun turut serta dalam acara tersebut. Pada malam harinya ia tergerak untuk membaca buku “Malang Nian Orang yang Tidak Shalat”, milik salah seorang napi yang beragama Islam. Anehnya, setelah membaca buku tersebut ia merasakan sesuatu yang lain. Tergerak dalam lubuk hatinya yang terdalam untuk melakukan shalat, walau ia tidak tahu bagaimana caranya. Keesokan harinya ia membaca di dinding sel yang penuh dengan coretan tahanan sebelumnya, “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan apabila kamu berdoa sebanyak kamu bercemas, maka seketika kecemasan itu akan hilang.”
Tanpa pikir panjang, semua buku-buku tentang Islam yang ada di kamar itu dipelajarinya, termasuk tata cara shalat. Ia dapat memahami bagaimana cara shalat dan berwudhu dari sel tahanan lain. Tentu saja para preman yang beragama Kristen jadi marah pada dirinya, tetapi ia tidak mempedulikan mereka. Pikirnya, kalau mau ribut, silakan, ia siap menghadapi mereka. Sejak saat itu ia jadi berani melaksanakan shalat walau belum mengucapkan ‘kesaksian’ dua kalimat syahadat. Ia yakin, Allah SWT akan menerima shalatnya, karena merasa telah ber-syahadat di hadapan Allah SWT. Setelah dua minggu ditahan, masuklah sejumlah tahanan dari Front Pembela Islam (FPI), dan dari merekalah ia belajar lebih banyak tentang Islam, khususnya dari Ustadz Ja’far Umar Shiddiq.
Seminggu kemudian Hermanus dikirim ke rutan Salemba. Ia tetap shalat dan berdoa semoga di sana ia tidak disiksa oleh sesama tahanan, dan bertemu dengan orang-orang yang dapat membimbingnya. Dan syukur Alhamdulillah harapan menjadi kenyataan, ia ditempatkan di Blok C, dan di sana bertemu dengan dua orang yang berakhlak baik. Setiap hari ia mengkaji kitab al-Qur’an terjemahan dan belajar membaca al-Qur’an. Banyak sekali buku-buku yang dijadikannya referensi untuk mendalami pengetahuan Islam, antara lain: Menuju Jalan Ke Surga, Di Balik Rahasia Surat at-Taubah, dan lain sebagainya.
Selama ditahan, setiap hari keluarganya datang menjenguk. Mereka tetap memberikan dorongan dan dukungan kepadanya, serta memperlihatkan perhatian yang serius terhadap masalah yang dihadapinya. Akhirnya diputuskan hukumannya selama satu tahun enam bulan, jauh lebih ringan dari tuntutan sebelumnya, yakni empat tahun penjara.
Ketika ia merasakan keimanannya kepada Islam makin kuat, ia bermaksud mengutarakan kepada keluarganya tentang identitas dirinya sebagai seorang Muslim. Tetapi begitu mengetahui, mereka sangat marah, ia dimaki-maki, dikatakan telah terpengaruh setan, bodoh, tolol dan diperintahkan harus kembali ke agama Kristen. Mereka mengancam tidak akan membesuk dan tidak akan menyuplai apapun. Padahal ‘biaya hidup’ di dalam penjara sangatlah besar, untuk makan, bayaran wajib pintu, uang kunci mingguan, dan lain-lain sebagainya. Apabila tidak memenuhi semua itu, ia akan menemui masalah besar dengan para preman. Ia menjadi bimbang lagi, dan dalam kegalauannya, ia kembali terjebak memakai putaw. Tetapi bagi keluarganya, hal itu bukanlah masalah besar, dan juga tidak masalah harus tetap menyuplai kebutuhannya di penjara asal ia mau kembali ke gereja dan menyatakan dirinya sebagai seorang Kristiani.
Ternyata keimanannya tidak begitu saja tergoyahkan, tetapi karena terlanjur memakai putauw dalam kebimbangannya itu, ia terpaksa ‘berhadapan’ dengan para bandar putaw di penjara. Mereka memaksanya untuk membeli putaw mereka, dan sempat terjebak lagi sebagai pecandu. Tapi itu hanya berlangsung selama dua minggu, dan Allah menyadarkan dirinya. Ia dengan tegas menolak ‘memakai’ lagi walau mereka mengancamnya. Kemudian ia berpikir untuk ‘hijrah’ dari penjara tersebut ke penjara lainnya, agar ibadahnya lebih tenang dan tidak terganggu dengan ulah para preman dan bandar putaw. Untuk itu, terpaksa ia menyogok bagian pendaftaran untuk memasukkan namanya dalam daftar nama-nama napi yang akan dipindahkan ke LP Tangerang.
Dua hari kemudian namanya dipanggil untuk dikirim ke Lapas kelas I Tangerang. Setelah tiba di Tangerang, ia menelepon keluarganya untuk menginformasikan kepindahannya ke penjara Tangerang. Tetapi saat menelepon itu ia juga menegaskan kepada mereka bahwa ia akan tetap menjadi seorang Muslim, yang meyakini bahwa Allah itu Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan Muhammad SAW adalah Rasulullah (Utusan Allah). Keesokan harinya, mereka datang ‘membesuk’, tetapi dengan tujuan yang lain. Begitu bertemu, ia langsung ditempeleng dan diludahi, bahkan hpnya dirampas. Sejak itu, mereka benar-benar tidak mau menyuplai apapun yang menjadi kebutuhannya di penjara. Bahkan mereka mengharapkan agar ia mati saja di dalam penjara agar tidak membuat malu keluarga.
Memang, ketika keimanan telah begitu merasuk ke dalam jiwa, halangan apapun memang tidak akan bisa menggoyahkannya. Tekadnya sudah bulat, ia akan tetap pada komitmennya berada di jalan Allah. Di LP Tangerang kehidupannya sangat begitu sulit tanpa bantuan keluarganya, ia bagai anak hilang. Terkadang ia bingung, bagaimana harus mandi tanpa sabun, pasta gigi dan shampo. Makannyapun apa adanya, nasi putih dan sayur, yang tidak layak dimakan manusia normal. Minumannya pun air mentah tanpa dimasak sama sekali. Ia berusaha meminimalisasi penderitaannya dengan bekerja sebagai tukang cuci pakaian orang. Tapi tidak setiap hari ia mendapat order itu. Sekali mencuci ia dibayar Rp 200 sampai Rp 3000, dan itu hanya cukup untuk makan sehari saja. Ia ditawari bekerja pada beberapa orang Nigeria dan Tionghoa, namun konsekuensinya ia harus siap selama 10-12 jam di kamar mereka dengan mengerjakan apa pun yang mereka inginkan. Memang upahnya cukup lumayan, namun waktunya untuk Allah akan hilang. Karena itulah ia memutuskan untuk menolak tawaran kerja tersebut, padahal mereka sangat senang, karena ia bisa berbahasa Inggris dan Perancis.
Hermanus sadar, sebagai seorang muslim, ia tidak boleh menggantungkan hidupnya kepada orang kafir. Ia yakin bahwa rezeki sudah ditentukan, karena itu ibadah kepada Allah menjadi prioritas utamanya. Shalat, mengaji dan memperdalam agama menjadi santapannya setiap hari. Walau begitu, ia sadar bahwa cobaan memang tidak berhenti sampai di situ. Tekanan-tekanan mental dari orang-orang non-Muslim, khususnya dari etnis tertentu terhadap dirinya berlanjut di penjara ini. Beberapa petugas sangat sinis kepadanya karena berbeda agama denganya. Celakanya lagi, banyak sekali orang muslim yang tidak taat di penjara ini. Perintah berjamaah hanya diterapkan dalam shalat, tetapi tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, banyak sekali orang muslim yang murtad karena tidak tahan lapar dan harus ke gereja (dalam LP) demi untuk mendapatkan sekotak makan, sabun, pasta gigi, sampho dan obat-obatan.
Seiring berjalannya waktu, gerakan dakwah mulai muncul di dalam LP. Beberapa napi mencoba membuat kegiatan-kegiatan untuk memakmurkan masjid dan kegiatan sosial bernafaskan Islam, seperti membuat dapur umat dan merayakan hari-hari besar Islam. Dalam kesempatan ini ia bergabung dengan para aktivis dakwah, yakni membuat drugs conselling (bimbingan untuk menghindari narkoba, red) untuk para pecandu narkoba. Ceramah interaktif tentang narkoba juga diberikan oleh Prof Dr Dadang Hawari. Dan akhirnya di LP ini berdiri Pondok Pesantren At-Tawwabin yang santrinya berasal dari kalangan narapidana. Masjid Baitus Salam yang berada dalam LP juga penuh sesak dengan para jamaah. Setiap datang waktu shalat, adzan selalu berkumandang. Pembangunan Masjid pun diperluas hingga menjadi dua ruangan dan dapat menampung 600-700 jamaah.
Hermanus dan teman-temannya memfokuskan diri pada upaya memotivasi saudara-saudaranya semuslim untuk memantapkan akidah dan meningkatkan akhlak, dan khususnya untuk menghadang upaya pemurtadan kaum Salibis yang dilakukan dengan iming-iming materi. Bila bulan Ramadhan tiba, hampir semua napi muslim berbahagia karena banyak keluarga mereka yang membesuk. Mereka bisa bermaaf-maafan dan bersenda gurau dengan keluarga. Jika melihat itu, tanpa sadar air matanya menetes mengingat tidak ada lagi keluarganya yang datang dengan senyuman, nasihat dan dukungan seperti yang dulu mereka lakukan kepadanya. Itu hanya karena ia berpegang teguh pada keislamannya.
Sesekali pada malam hari yang hening, ia mencoba mengirim SMS kepada keluarganya seraya mendakwahi mereka agar berkenan mempelajari Islam yang mereka benci, khususnya surat al-Ikhlash dan al-Maidah ayat 116. Ia sangat berharap, Allah akan membukakan pintu hidayah kepada mereka. Tetapi lagi-lagi balasan yang diterimanya adalah caci maki. Walau demikian, ia selalu bermohon semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka. Ia sangat yakin dengan firman Allah yang menyatakan, “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan minta ampunlah bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan,” (QS Muhammad: 19). Dan berharap, suatu saat nanti Allah akan menurunkan hidayah pada keluarganya untuk bisa menerima Islam sebagai agamanya.

Disunting dari : Hermanus Paulus Poli Menjemput Hidayah di Penjara
Swaramuslim.net, Journey to Islam,  22 Nov 2003 - 03:24 pm  (1.018)

Ki Manteb Sudharsono, Keajaiban Mencium Hajar Aswad

Bagi orang Indonesia, khususnya yang mempunyai minat pada kebudayaan Jawa, tentulah nama Ki Manteb Sudharsono tidak asing lagi. Ia identik dengan penampilannya yang mantap dalam memainkan wayang kulit, dan termasuk dalang yang digandrungi dan sangat laris, jadwal pentasnya sangat padat. Walau bisa dikatakan ‘mewarisi’ pekerjaan wali songo, khususnya Sunan Kalijaga yang berdakwah menyebarkan Islam dengan pendekatan budaya Jawa, ternyata pada awalnya Ki Manteb Sudarsono bukanlah seorang muslim, tetapi beragama Budha. Basis cerita wayang memang berasal dari India dengan latar belakang agama Hindu, tetapi atas ‘kreativitas’ wali songo, wayang kulit dengan ‘penampilannya’ yang khas menjadi ‘identik’ dengan Islam, termasuk munculnya kisah-kisah ‘kembangan’ (variasi) seperti Jamus Kalimosodo, tokoh punakawan, Dewaruci dll.
Walau bukan seorang muslim, tetapi lingkungan pekerjaannya Ki Manteb kebanyakan beragama Islam, dari para niyaga (penabuh gamelan), sinden, dan lain-lainnya, termasuk juga istrinya. Ia mendapatkan dorongan untuk memeluk Islam dari Gatot Tetuki, putra keduanya dari istrinya yang kedua. Sebelumnya ia tidak mau memeluk Islam, karena menurutnya agama Islam itu berat, dan ia tidak mau ikut-ikutan saja.
Ketika usai menghitankan Gatot, putranya tersebut minta diberangkatkan umrah tetapi bersama-sama dengan dirinya, sang ayah. Hati Ki Manteb jadi tersentuh, dan ia menganggapnya sebagai panggilan Allah. Ia merasa seperti diingatkan dan dibangunkan dari tidur panjang yang selama ia membuainya. Langsung saja ajakan tersebut diterimanya, sekaligus ia mempersiapkan diri untuk memeluk Agama Islam. Bagaimana ia akan berangkat Umrah jika ia tidak menjadi seorang muslim dahulu??
Pada hari yang telah ditetapkan, Ki Manteb mengundang Kiai Ali Darokah (Ketua MUI Solo), H. Amir Ngruki, H. Alwi, dan kaum muslimin di sekitar tempat tinggalnya untuk menjadi saksi keislamannya. Setelah itu, sesuai dengan ajakan putranya, ia melaksanakan umrah pada September 1995. Pada tahun berikutnya, yakni di bulan April/Mei 1996, ia berkesempatan menunaikan ibadah haji. Banyak sekali manfaat yang diperolehnya dari pengalaman-pengalaman tersebut, dan kesemuanya itu menambahkan kedewasaan berpikir dan pengendalian dirinya.
Pada waktu beribadah haji terebut, Ki Manteb mengalami suatu kejadian sangat aneh. Usai melaksanakan rangkaian ibadah haji di Mekah dan bersiap ke Madinah, sesudah Thawaf Wada' ia ingin sekali mencium Hajar Aswad, tetapi mana mungkin? Ka’bah dan pelatarannya telah menjadi lautan manusia, hampir tidak mungkin mendekati Hajar Aswad. Tetapi tiba-tiba, entah dari mana datangnya, muncul seorang anak kecil berpakaian khas Arab ngawe-awe (mengajak sambil melambaikan tangan) kearahnya. Setelah Ki Manteb menghampiri, anak kecil itu berkata, "Ahlan...ahlan..." (selamat datang, selamat datang).
Seperti ada tarikan kuat yang ia tidak mampu membendungnya, Ki Manteb berjalan mengikutinya, yang berjalan merunduk karena banyak orang. Anak kecil itu seperti menunjukkan jalan, belok kanan dan kiri berkali-kali, sampai akhirnya tiba di depan Hajar Aswad. Ia dapat mencium Hajar Aswad sepuas-puasnya. Ia menangis penuh bahagia dan bersyukur sekali atas pertolongan anak kecil itu. Beberapa saat kemudian ia teringat pada anak itu, dan berniat memberikan uang 50 real yang ada di kantongnya. Tetapi begitu menengok kanan kiri, anak kecil itu sudah tidak ada lagi. Kalau lari tidak mungkin karena begitu padatnya. Dan tentang siapa dan ke mana perginya anak kecil itu tetap menjadi misteri dalam kehidupannya.
Setelah memeluk Islam dan beribadah haji, hubungan Ki Manteb dengan siapa pun tetap terjalin baik seperti sebelumnya. Demikian pula dengan para niyaga/pengrawit (penabuh gamelan) rombongan wayang kulit. Sebagian besar niyaga/pengrawit memang sudah beragama Islam, hanya tiga orang yang belum Islam. Dalam hal ini ia tidak ingin mempengaruhi atau memaksanya, dibiarkannya saja sesuai dengan keyakinan mereka. Menurutnya, dalam memeluk Islam tidak boleh ada pemaksaan.
Sebelum memeluk Islam, jika tidak mendalang seminggu saja, ia selalu merasa was-was, "Aku nek ra payu, piye?"
Maksudnya, “Kalau saya sudah tidak laku lagi, bagaimana?” Begitu perasaannya ketika itu. Tetapi setelah keislamannya, perasaan seperti itu sudah tidak ada lagi. Ia berusaha untuk taat menjalankan shalat. Hasilnya, ia lebih dapat mengendalikan diri dan selalu berpikir positif ke pada Allah. Fikirnya, “Kalau memang sudah tidak ada rezeki lagi buat saya, tentu sudah waktunya Allah memanggil saya. Mengapa pula harus bingung?
Intinya, pikirannya sudah sumeleh. Dan pelahan tapi pasti, semua keluarganya mengikuti jejaknya memeluk Islam.
Setelah memeluk Islam, ia merasakan keluarganya makin harmonis dan tenteram. Tidak suka bertengkar, dan tidak ada suasana saling mencurigai. Beberapa kali ia diminta mengisi pengajian oleh masyarakat, dan semampunya ia penuhi. Bukan dengan maksud menggurui, tetapi ia merasa itu sebagai kewajiban seorang muslim. Apalagi sebagai dalang wayang kulit, sedikit banyak ia mengetahui tentang filosofi cerita wayang, yang sebelumnya digunakan Wali Songo sebagai media dakwah. Dalam pengajian, seringkali ia menceritakan sejarah hidupnya yang dahulu tidak karu-karuan, mbejujak (rusak).
Dari pengajian yang disampaikannya, ada beberapa orang yang akhirnya mengikuti jejaknya, yaitu memeluk agama Islam. Ketika berlangsung pengajian, terkadang ada jamaah yang bertanya, apa kalau ceramah itu ia mendapatkan uang saku? Dengan jujur dijawabnya, “Tidak, kalau mau cari-cari uang, itu sudah saya dapatkan dari mendalang!!”
Setelah menjadi muslim, ia harus lebih banyak belajar mendalami Islam. Dalam hal ini, di rumahnya di Karang anyar, ia selalu mendatangkan mubaligh setiap bulannya, seperti Kiai Ali Darokah, H.Amir, H. Alwi dan yang lainnya, dan mengundang masyarakat di sekitarnya. Setelah pengajian selesai, ia meneruskannya dengan pentas wayang yang selalu disisipinya dengan pesan-pesan dakwah. Setelah Islamnya, ia terobsesi dengan Wali Songo yang menjadikan wayang kulit sebagai media dakwah. Kali ini ia ingin menjadi ‘pewaris’ Wali Songo, dan menjadikan pekerjaan yang telah ditekuninya selama bertahun-tahun sebagai media dakwah.

Disunting dari : Ki Manteb Sudharsono : Sudah Mantap dalam Islam
Swaramuslim.net, Journey to Islam,  01 Nov 2003 - 11:07 pm  (1.006)

Senin, 13 Oktober 2014

Cindy Claudia Harahap, Pesona Bulan Sabit dan Bintang yang Berdampingan

Allah SWT memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki, begitulah yang terjadi pada diri Cindy Claudia Harahap, putri sulung dari musisi veteran Rinto Harahap. Saat usianya belasan tahun, ia terombang-ambing hidup di tengah-tengah keluarga Muslim dan non-Muslim. Keluarga ayahnya non-Muslim sementara keluarga dari ibu beragama Islam, tetapi ia lebih cenderung kepada ayahnya.. Penyanyi kelahiran Jakarta, 5 April 1975 ini memperoleh hidayah ketika sedang menempuh pendidikan di St Brigidf College, Australia.
Saat itu, sekitar tahun 1991, Cindy bersama sahabat karibnya yang juga artis papan atas Indonesia, Tamara Blezinsky, yang sama-sama sekolah di sana, sedang tiduran tengah malam di atas rumput halaman asrama sekolahnya. Hampir setiap hari mereka ngobrol karena hanya mereka berdua orang Indonesia di sana. Mereka juga mempunyai kondisi yang sama tentang orang tuanya, yakni keyakinannya berbeda. Ketika berbaring dengan mata menerawang ke atas, di langit yang cerah terlihat bulan sabit yang bersebelahan dengan bintang yang bersinar cemerlang, tampak sangat indah dan serasi sekali sekali, seperti lukisan saja. Cindy berkata, ''Tamara, kayaknya aku pernah lihat yang seperti ini!! Di mana ya, kok bagus banget? Kayaknya lambang sesuatu, apa ya?''
Tamara menjawab kalau itu adalah lambang sebuah masjid. Cindy berkata lagi, ''Jangan-jangan ini suatu petunjuk kalau kita harus ke masjid.''
Sungguh suatu tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Kalau di Indonesia tidak asing, bahkan di segala penjuru mereka dapat menemukan, atau setidaknya melihat masjid, tetapi jarang sekali melihat masjid selama di Australia. Cindy pun berfikir untuk memeluk Islam, dan mengajak Tamara melakukannya juga. Ia berkata, ''Suatu hari nanti saya pasti akan terpanggil untuk memeluk agama Islam.''
Setelah kembali ke Indonesia, Cindy dan Tamara lama berpisah. Tetapi saat kemudian bertemu kembali di Jakarta, ternyata mereka telah sama-sama menjadi pemeluk Islam. Pelantun tembang melankolis ini mengungkapkan, dirinya masuk Islam lebih pada panggilan jiwa dan hati. Menurutnya, orang memeluk suatu agama itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksakan, tergantung masing-masing orang dalam menyikapinya.
Tentu, selain dirinya sendiri yang ‘tergugah’ dengan pengalamannya ketika sekolah di Australia, pihak lain yang turut mempengaruhi dan menguatkan tekadnya adalah mamanya dan Thoriq Eben Mahmud, yang kemudian menjadi suaminya pada tanggal 4 juli 1998.. Dari awal saat pacaran, Cindy banyak belajar tentang Islam dari laki-laki keturunan Mesir itu. Mereka sering berdiskusi dan Thoriq pun menjelaskan dengan bijaksana dan penuh kesabaran. Thoriq tidak pernah memaksanya, tetapi dia sering membelikan buku-buku tentang Islam, bahkan, terkadang kayak anak TK saja dibelikan buku cerita yang bergambar. Tapi justru karena itulah hatinya makin tertarik, sampai akhirnya ia dibelikan Alquran dengan terjemahannya. Saat itulah ia mulai membaca artinya, walau belum bisa bahasa Arabnya.
Ketika saatnya tiba dan hatinya telah semakin mantap, Cindy melafalkan Dua Kalimat Syahadat di hadapan seorang guru agama Islam SMA 34 Jakarta, di sebuah tempat yang sangat sederhana, tepatnya di mushalla kecil sekolah itu. Ia memang tidak ingin suasana yang ‘gegap gempita’, apalagi menjadi konsumsi media segala. Kekhusyu’an, keteduhan dan kekhidmatan yang lebih ingin dirasakannnya ketika ia memutuskan untuk pindah keyakinan menjadi muslim.
Dalam proses mempelajari Islam, Cindy mengakui tidak banyak menghadapi kendala yang berarti, cuma harus menyesuaikan diri saja. Ia sudah terbiasa melihat ibadah keluarganya yang beragama Islam. Bahkan sebelum memeluk Islam, ia sudah sering ikut-ikutan puasa saat Bulan Romadhon tiba. Dalam belajar mengaji (membaca Al Qur’an), Cindy mendatangkan seorang ustad ke rumahnya. Pada awalnya memang ada kesulitan, tapi akhirnya bisa berjalan lancar.
Keluarganya sangat toleran terhadap agama karena pada dasarnya, menurut mereka, semua agama itu sama, yakni mengajarkan hal yang baik hanya caranya yang berbeda-beda. Ayahnya, Rinto Harahap pernah berkata, bahwa apapun agama yang Cindy putuskan untuk dianut itu terserah, yang penting dilaksanakan dengan sungguh-sungguh
Jauh sebelumnya ketika masih non muslim, Cindy sempat berfikir bahwa menjadi seorang Muslim itu sepertinya repot sekali. Kalau mau masuk tempat ibadah (masjid) untuk shalat, harus wudhu, lepas sandal/sepatu dan harus pakai mukena pula. Pada bulan Ramadhan harus berpuasa selama sebulan penuh. Berbeda sekali dengan ‘kemudahan’ dari agama yang dipeluknya saat itu. Tetapi setelah mempelajari Islam dengan benar, Cindy menyadari justru itulah kelebihan Islam bila dibandingkan dengan agama lain. ''Kalau kita hendak menghadap Allah, kita harus benar-benar dalam kondisi yang bersih. Bersih jiwa dan bersih diri.''
Cindy mengungkapkan, alangkah bahagianya kita sebagai umat Islam dikaruniai bulan ramadhan, di mana kita diberi kesempatan untuk membenahi diri. ''Menurut saya, bulan Ramadhan itu bulan bonus dan setiap tahun saya merasa kangen dengan Ramadhan''.
Selama ini Cindy selalu berusaha membagi waktu sebisa mungkin untuk tidak meninggalkan ibadah. ''Kalau kita ada waktu ya ibadah harus dilakukan. Cuma saya tidak munafik, sebagai manusia masih harus berusaha keras agar ibadah tidak bolong dan tetap lancar.''
Ia mengakui bila jadwal syuting padat, ibadah shalat suka terlewatkan. Tapi bila sedang berada di rumah, ia selalu menunaikan shalat berjamaah dengan suaminya.. Sejak dini memperkenalkan kepada anaknya kehidupan agama dengan memasukkan anak pertamanya ke TPA (Tempat Pendidikan Alquran) di masjid dekat rumah. Beberapa bulan setelah menikah, ia diberi hadiah pernikahan oleh mertua berupa umrah bersama suaminya. Ia merasa sangat berkesan saat pertama melihat Ka'bah karena sebelumnya hanya disaksikan lewat televisi atau gambar saja. Waktu itu ia berangkat umrah saat bulan Ramadhan dan ia sedang hamil enam bulan. Cindy mengaku justru bisa menunaikan ibadah puasa dengan lebih baik di sana, yang tadinya di Jakarta tidak bisa puasa. ''Alhamdulillah, sampai di sana tidak ada kendala atau kejadian buruk apapun.''

Disunting dari : Lewat Bulan Bintang, Cindy Claudia Dapat Hidayah
Swaramuslim.net, Journey to Islam,  07 Jan 2005 - 6:30 am (1.052)

Muhammad Syafii Antonio, MSc. (d/h Nio Cwan Chung), Menjadi Muslim, dari Ikutan Menuju Pemahaman Ilmiah

Lahir di Sukabumi, Jawa Barat, tanggal 12 mei 1965, dengan nama asli Nio Cwan Chung, jelas bahwa Muhammad Syafii Antonio adalah seorang WNI keturunan Tionghoa. Sejak kecil ia mengenal dan menganut ajaran Konghucu, karena ayahnya seorang pendeta Konghucu. Selain mengenal ajaran Konghucu, ia juga mengenal ajaran Islam melalui pergaulan di lingkungan rumah dan sekolahnya. Ia sering memperhatikan cara-cara ibadah orang-orang muslim, dan karena terlalu sering memperhatikan, tanpa sadar ia suka melakukan shalat secara diam-diam. Kegiatan ibadah orang lain ini dilakukannya walaupun ia belum mengikrarkan diri menjadi seorang muslim.
Sebenarnya kehidupan keluarganya memberikan kebebasan dalam memilih agama, tetapi ayahnya membenci Agama Islam. Sikap ayahnya ini berangkat dari image dan gambaran buruk terhadap pemeluk Islam. Ayahnya sebenarnya melihat ajaran Islam itu bagus, apalagi dilihat dari sisi Al Qur’an dan Al Hadits. Tetapi ayahnya sangat heran pada pemeluknya yang tidak mencerminkan kesempurnaan ajaran agamanya. Gambaran buruk tentang kaum muslimin itu menurut ayahnya terlihat dari banyaknya umat Islam yang berada dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Bahkan, sampai mencuri sandal di mushola pun dilakukan oleh umat Islam sendiri. Jadi keindahan dan kebagusan ajaran Islam dinodai oleh perilaku umatnya yang kurang baik.
Walau telah ‘terbiasa’ melakukan ibadah kaum muslimin secara diam-diam, pada perkembangannya Nio Cwan Chung lebih memilih memeluk agama Kristen Protestan, dan berganti nama menjadi Pilot Sagaran Antonio. Kepindahan keyakinannya ke agama Kristen Protestan tidak membuat ayahnya marah. Mungkin akan berbeda ceritanya jika saat itu ia memilih untuk memeluk Islam, ayah pasti akan sangat kecewa.
Kendati demikian buruknya citra kaum muslimin di mata ayahnya, hal itu tidak membuat ia kendur untuk mengetahui lebih jauh tentang agama Islam. Untuk mengetahui agama Islam lebih mendalam, ia mencoba mengkaji Islam secara komparatif (perbandingan) dengan agama-agama lain. Dalam melakukan studi perbandingan ini ia menggunakan tiga pendekatan, yakni pendekatan sejarah, pendekatan alamiah, dan pendekatan nalar rasio biasa. Sengaja ia tidak menggunakan pendekatan kitab-kitab suci agar dapat mengetahui hasilnya secara obyektif.
Berdasarkan tiga pendekatan itu, ia melihat Islam benar-benar agama yang mudah dipahami ketimbang agama-agama lain. Dalam Islam saya temukan bahwa semua rasul yang diutus Tuhan ke muka bumi mengajarkan risalah yang satu, yaitu Tauhid. Selain itu, saya sangat tertarik pada kitab suci umat Islam, yaitu Al-Qur’an. Kitab suci ini penuh dengan kemukjizatan, baik ditinjau dari sisi bahasa, tatanan kata, isi, berita, keteraturan sastra, data-data ilmiah, dan berbagai aspek lainnya.
Ajaran Islam juga memiliki system nilai yang sangat lengkap dan komprehensif, meliputi system tatanan akidah, kepercayaan, dan tidak perlu perantara dalam beribadah. Dibanding agama lain, ibadah dalam Islam diartikan secara universal. Artinya, semua yang dilakukan baik ritual, rumah tangga, ekonomi, sosial, maupun budaya, selama tidak menyimpang dan untuk meninggikan syiar Allah, nilainya adalah ibadah. Selain itu, dibanding agama lain, terbukti tidak ada agama yang memiliki system selengkap agama Islam. Hasil dari studi banding inilah yang memantapkan hati saya untuk segera memutuskan bahwa Islam adalah agama yang dapat menjawab persoalan hidup.
Setelah melakukan perenungan untuk memantapkan hati, maka pada tahun 1984, yakni saat usianya mencapai 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA, ia memutuskan untuk memeluk agama Islam. Ia dibimbing oleh KH Abdullah bin Nuh al-Ghazali untuk mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat, dan namanya diganti menjadi Muhammad Syafii Antonio.
Keputusan yang diambilnya untuk menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW ternyata mendapat tantangan dari pihak keluarga. Ia dikucilkan dan diusir dari rumah, jika pulang, pintu rumahnya selalu tertutup dan terkunci. Bahkan pada waktu shalat, kain sarungnya sering diludahi. Perlakuan keluarga terhadap dirinya tidak dihadapinya dengan kemarahan, tapi dengan kesabaran dan perilaku yang santun. Ini sudah menjadi konsekuensi dari keputusan yang diambilnya.  Perlahan tetapi pasti, perlakuan dan sikap yang diteladaninya dari Nabi Muhammad SAW ini membuahkan hasil terhadap mereka. Tak lama kemudian mamanya menyusul jejaknya menjadi pemeluk Agama Islam.
Setelah mengikrarkan diri, ia terus mempelajari Islam, mulai dari membaca buku, diskusi, dan sebagainya. Ia juga mempelajari bahasa Arab di Pesantren an-Nidzom, Sukabumi, dibawah pimpinan K.H.Abdullah Muchtar. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan ke ITB dan IKIP, tapi kemudian pindah ke IAIN Syarif Hidayatullah. Itupun tidak lama, kemudian ia melanjutkan sekolah ke University of Yourdan (Yordania). Selesai studi S1, ia melanjutkan program S2 di International Islamic University (IIU) di Malaysia, khusus mempelajari ekonomi Islam.
Selesai studi, ia bekerja dan mengajar pada beberapa universitas. Segala aktivitas sengaja ia arahkan pada bidang agama. Untuk membantu saudara-saudara muslim dari etnis Tionghoa, ia aktif pada Yayasan Haji Karim Oei. Di yayasan inilah para mualaf mendapat informasi dan pembinaan. Mulai dari bimbingan shalat, membaca Al-Qur’an, diskusi, ceramah, dan kajian Islam, hingga informasi mengenai agama Islam.

Disunting dari : Ekonom Islam : Muhammad Syafii Antonio, MSc. (d/h Nio Cwan Chung)
Swaramuslim.net, Journey to Islam, 26 Jul 2005 - 12:10 am (1.086)

Willibrordus Surendra Broto Rendra (WS Rendra), Jalan Berliku Merasakan Nikmatnya Iman

Hampir tidak ada orang Indonesia yang tidak mengenal nama WS Rendra, seorang penyair dan sastrawan yang bisa dikatakan mempunyai jiwa ‘memberontak’ terhadap kemapanan. Terlahir dengan nama WILLIBRORDUS SURENDRA BROTO RENDRA, di Solo, tanggal 7 November 1935, pasti bisa ditebak bagaimana lingkungan keluarganya, yakni agama Katholik yang kuat. Ia menyelesaikan SMA nya di St Josef Solo, dilanjutkan pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta, ditambah lagi dengan American Academy of Dramatic Arts, New York, AS pada tahun 1967.
Ia memang telah memilih jalan hidup sebagai seniman. Sejak muda, ia telah malang-melintang di dunia teater. Bahkan, kemudian ia dikenal sebagai "dedengkot" Bengkel Teater sewaktu masih tinggal di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater inilah ia mendapatkan segalanya,: popularitas, istri, dan juga materi. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dalam kehidupannya sebagai seniman yang miskin pada waktu itu, ia dapat memboyong seorang putri Keraton Prabuningratan, BRA Sitoresmi Prabuningrat, yang kemudian menjadi istrinya yang kedua.
Melalui perkawinannya dengan putri keraton inilah, akhirnya WS Rendra menyatakan dirinya untuk memeluk agama Islam. Dalam rentang waktu perkawinan yang cukup panjang, yakni setelah memperoleh 4 orang anak, perkawinannya dengan ‘putri keraton’ ini akhirnya kandas, tetapi ia tetap keyakinannya sebagai seorang muslim, tidak kembali ke agama Katholik yang dipeluknya sebelum perkawinan keduanya.
Meskipun sudah menjadi orang Islam, tetapi WS Rendra masih suka meminum minuman keras. Mungkin karena kurang memahami ilmu-ilmu keislaman, seenaknya saja ia berkata bahwa tidak ada masalah dengan hal itu. Waktu itu ia selalu berkata enteng, sesuai dengan jiwa senimannya, “Kalau saya membaca bismillahirrahmanirrahim, maka minuman keras menjadi air biasa saja!!”
Setelah perkawinannya dengan istrinya yang ketiga, yakni Ken Zuraida, ia semakin rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan bukan suatu kebetulan juga, jika ia kemudian bergabung bersama Setiawan Djodi dan Iwan Falls dalam grup Swami dan Kantata Takwa. Pemahaman dan keyakinannya kepada Islam yang makin mendalam yang membuatnya mengambil keputusan itu.
Bagi Rendra, puisi bukan hanya sekadar ungkapan perasaan seorang seniman, tetapi lebih dari itu, puisi merupakan sikap perlawanannya kepada setiap bentuk kezaliman dan ketidak-adilan. Dan, itulah manifestasi dan sikapnya dalam ‘mengamalkan’ perintah amar ma'ruf nahi munkar seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an.
Sebagai penyair, ia berusaha konsisten dengan sikapnya. Baginya, menjadi penyair pada hakikatnya menjadi cermin hati nurani dan kemanusiaan. Penyair itu bukan buku yang dapat dibakar atau dilarang, bukan juga benteng yang bisa dihancur leburkan. Ia adalah hati nurani yang tidak dapat disamaratakan dengan tanah. Mereka memang dapat dikalahkan, tetapi tidak dapat dihancurkankan begitu saja hingga melebur dengan tanah.
Ketika akhirnya ia berkesempatan untuk naik haji, apa saja yang diminumnya masih terasa seperti minuman keras bermerek Chevas Regal. Minum di sini, minum di sana, rasanya seperti minuman keras, bahkan, air zamzam pun dirasanya seperti Chevas Regal, sampai ia bersendawa, seperti orang yang selesai meminum minuman keras. Ia sangat sedih mengalami keadaan itu. Dengan lirih, ia berdoa. "Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun, ampun, ampun, ya Allah….."
Rendra betul-betul merasa takut merasakan hal itu, jangan-jangan taubatnya tidak diterima Allah. Ia merasa malu, kecut, sekaligus juga marah, sehingga rasanya ia ingin berteriak keras, "Bagaimana, sih, ya Allah? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya, dong!"
Ia baru bisa merasakan segarnya air lagi setelah menyelesaikan rangkaian ibadah haji, yakni dalam penerbangan dari Jedah ke Amsterdam. Mungkin itu menjadi pertanda kalau hajinya diterima, yakni Haji Mabrur. Ia bersyukur dalam hati, “Alhamdulillah! Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman keras lagi. (Albaz - dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website).

Disunting dari : WS Rendra : Air zam-zam pun rasanya seperti minuman Chevas Regal
Swaramuslim.net, Journey to Islam, 10 Dec 2005 - 5:40 pm (1.107)

Rabu, 07 Mei 2014

Umar bin Khaththab RA, Dari Musuh Besar menjadi Pembela Utama Islam

            Kisah keislamannya ini berawal ketika tokoh-tokoh kafir Quraisy seperti Abu Jahal bin Hisyam, Uqbah bin Nafik dan lain-lainnya gagal membunuh Nabi SAW, sementara dakwah islam semakin meluas, dan beberapa orang sahabat berhasil hijrah ke Habsyi, dan beribadah dengan tenang di bawah lindungan Raja Najasyi. Sebagai jagoan terkuat di Makkah, Umar merasa harus ia sendiri yang membunuh Muhammad, yang dianggapnya telah murtad dan memecah belah kaum Quraisy serta memaki dan menghina agama nenek moyangnya. 
Umar berniat pergi ke rumah Al Arqam, tempat Nabi SAW mengajarkan Islam kepada sahabat-sahabat beliau. Di tengah perjalanan ia bertemu Nu'aim bin Abdullah, yang menanyakan kepergiannya dengan pedang terhunus. Begitu mengetahui niatnya untuk membunuh Rasullullah SAW, Nu'aim justru mencela Umar, "Hendaknya engkau meluruskan urusan keluargamu dulu sebelum urusan Bani Manaf. Sesungguhnya adikmu sendiri Fathimah binti Khaththab dan suaminya yang juga anak pamanmu, Sa'id bin Zaid telah mengikuti ajaran Muhammad, merekalah yang harus engkau selesaikan urusannya."
Betapa geramnya Umar mendengar penjelasan Nu'aim bin Abdullah, dibelokkanlah langkahnya menuju rumah Sa'id bin Zaid dengan kemarahan yang memuncak. Saat itu, di rumah Sa'id juga ada Khabbab ibnu Aratt yang sedang mengajarkan ayat-ayat Al Qur'an pada mereka. Mendengar kedatangan Umar, Khabbab langsung bersembunyi, Sa'id membukakan pintu dan Fathimah menyembunyikan lembaran mushaf Al Qur'an.
Begitu melihat Sa'id, kemarahan Umar tidak bisa dibendung lagi, seolah kemarahannya kepada Nabi SAW ditumpahkan semua kepada adik iparnya tersebut. Dibentaknya Sa''id sebagai murtad dan memukulnya hingga terjatuh. Fathimah mendekat untuk membela suaminya, tapi dipukul oleh Umar pada wajahnya. Sungguh keadaan yang mengenaskan dan membahayakan bagi kedua suami istri tsb. Umar sudah menduduki dada Sa’id, satu pukulan telak dari jagoan Ukazh itu bisa jadi akan membunuhnya.
Namun tiba-tiba terdengar pekikan keras dari Fathimah, "Hai musuh Allah, kamu berani memukul saya karena saya beriman kepada Allah…! Hai Umar, perbuatlah apa yang engkau suka, karena saya akan tetap bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasullullah…!"
Umar tersentak bagai disengat listrik, pekikan itu seakan menembus ulu hatinya…terkejut dan heran. Umar bin Khaththab adalah seorang lelaki yang sering dilukiskan sebagai : "Jika ia berbicara, maka orang akan terpaksa mendengarkannya, jika berjalan, langkahnya cepat bagai dikejar orang, jika berkelahi maka pukulannya adalah pukulan maut yang mematikan."
Tetapi ternyata ada orang yang berani menentangnya, seorang wanita lagi, dan adiknya pula, kekuatan apa yang bisa membuatnya berani menentang kalau tidak kekuatan yang maha hebat, kekuatan iman…mulailah percik hidayah menghampirinya. Kemarahannya mereda, dimintanya lembar-lembar Al Qur'an yang dipegang Fathimah, tetapi sekali lagi jagoan duel di Pasar Ukazh ini seakan tak berkutik ketika adiknya tsb. Berkata dengan tegas, "Tidak mungkin, ia tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci! Pergilah, mandilahlah dan bersuci..!!”
Bagai anak kecil yang penurut, Umarpun berlalu, sesaat kemudian kembali dengan jenggot yang mengucurkan air. Diberikanlah lembaran mushaf yang berisi Surah Thaha ayat 1 - 6. Makin kuatlah hidayah Allah membuka mata hatinya. Setelah ayat-ayat tersebut dibacanya, meluncurlah kata-kata dari mulutnya, "Tidak pantas bagi Allah yang ayat-ayatnya sebegini indahnya, sebegini mulianya mempunyai sekutu yang harus disembah, tunjukkanlah padaku dimana Muhammad?"
Sebuah pernyataan yang menunjukkan perubahan sikap dan keyakinannya selama ini terhadap Nabi SAW. Khabbab bin Aratt pun keluar dari persembunyiannya dan berkata, "Bergembiralah Umar, sesungguhnya Nabi telah bersabda tentang dirimu, Beliau berdoa : Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah satu dari dua Umar, Umar bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin Khaththab, dan engkau dipilih Allah untuk memperkuat Islam."
Khabbab mengantarkan Umar ke rumah Al Arqam di dekat Shafa. Di sana ia ditemui Nabi SAW, Beliau memegang ujung baju Umar dan berkata,  "Masuklah kamu ke dalam Islam wahai Ibnu Al Khaththab. Ya Allah, berilah hidayah kepadanya!"
Umar pun bersyahadat, maka bertakbirlah para sahabat yang hadir, dengan takbir yang bisa didengar hingga sepanjang jalan di kota Mekkah, bahkan juga sampai ke Ka.bah. Benarlah doa Nabi SAW, keislaman Umar mengguncangkan kaum musyrik dan menorehkan kehinaan bagi mereka, tetapi sebaliknya memberikan kehormatan, kekuatan dan kegembiraan bagi orang muslim.
Tidak seperti muallaf sebelumnya yang umumnya menyembunyikan keislamannya, Umar sebaliknya. Diingatnya siapa yang paling memusuhi Nabi SAW, siapa lagi kalau bukan Abu Jahal. Umar mendatangi rumahnya dan menggebrak pintunya. Begitu Abu Jahal keluar, Umar memberitahukan keislamannya, Abu Jahal menutup pintu dan masuk kembali ke rumahnya. Begitupun ketika diberitahukan kepada pamannya, Al Ash bin Hasyim, dia justru masuk ke rumah. Biasanya mereka berdua ini kalau bertemu dengan orang yang masuk Islam, mereka menangkap dan menyiksanya.
Ketika kembali kepada Nabi SAW, Umar menginginkan orang-orang Islam untuk tidak sembunyi-sembunyi lagi karena menurut pendapatnya, mereka ini dalam kebenaran, hidup ataupun mati. Pendapatnya ini dibenarkan oleh Nabi SAW dan beliau menyetujui keinginan Umar. Beliau mengeluarkan orang-orang muslim dalam dua kelompok, kelompok pertama dipimpin Hamzah, yang telah memeluk Islam tiga hari mendahului Umar, dan kelompok kedua dipimpin Umar sendiri.
Orang-orang musyrik  hanya terpana tidak berani berbuat apa-apa seperti sebelumnya, tampak jelas kesedihan di mata mereka. Karena itulah Rasulullah menggelari Umar dengan Al Faruq, pemisah antara yang haq dan yang bathil. Sejak saat itu orang orang Islam bisa beribadah dan membuat majelis di dekat Ka'bah, thawaf dan berdakwah, serta melakukan pencegahan terhadap siksaan-siksaan.

Disunting dari : Umar bin Khaththab al Faruq RA, Khulafaur Rasyidin Ke Dua  
Blog : Percik Sahabat Nabi SAW, www.PercikSahabatNabi.Blogspot.com

Yusuf Islam (Cat Stevens), Menjelajah Keyakinan Menuju Islam

Berpetualang Dalam Keyakinan
Para pecinta dan penikmat musik pop dunia, khususnya untuk era 60-70an pastilah mengenal nama Cat Stevens, dengan salah satu lagunya yang terus melegenda sampai saat ini, “Morning Has Broken”. Lahir di Kota London, di jantung Negara Inggris, salah satu negara paling modern saat itu, Cat Steven tumbuh dalam lingkungan kristen yang sangat kental. Pendidikannya diselesaikan pada sekolah-sekolah Katholik. Ia sangat memahami ajaran kehidupan dan ajaran agama yang dipeluknya. Ia mengimani adanya Tuhan, Isa Almasih sebagai ‘anak Tuhan’, takdir, serta tuntunan jalan yang baik dan buruk. Gereja banyak mengajarkan dan menekankan pada dirinya untuk percaya kepada Allah, sedikit pada Isa Almasih dan mengurangi sedikit dari kepercayaan kepada roh kudus.
Sebagai garda terdepan kekuatan kristen sejak terjadinya perang Salib, yakni ketika Raja Richard, The Lion Heart menjadi komandan utamanya, Negara Inggris juga menjadi pioner liberalisasi dan kapitalisasi sejak terjadinya revolusi industri. Akibatnya, pola fikir masyarakat  menjadi sempit dan picik, segala sesuatunya lebih banyak diukur dengan materi semata-mata. Pada waktu itu mereka mengajarkan pada Cat Stevens dan generasinya, bahwa kekayaan adalah suatu kehormatan dan hak yang hakiki, sedang kemiskinan adalah suatu kekalahan total dan memalukan.
Akibat didikan yang kontradiktif seperti itu, ia menciptakan falsafah hidupnya sendiri, bahwa antara kehidupan (sehari-hari) tidak ada hubungannya dengan agama (pola fikir sekuler). Ia mewujudkan falsafahnya itu dengan mencontoh Amerika, ia dan orang-orang di generasinya beranggapan bahwa Amerika adalah suatu lambang kekayaan sekaligus kebebasan (kemerdekaan) yang nyata. Dan negara-negara dunia ke tiga di Asia dan Afrika adalah contoh dari kemiskinan, kesengsaraan, keterbelakangan, kebodohan dan kesesatan. Karena itulah Cat Stevens mencari jalan untuk menjadi kaya agar bisa hidup terhormat dan bahagia.
Mulailah ia merintis jalan untuk hidup sukses, dan ketika itu cara yang paling murah adalah dengan mempunyai gitar. Dengan bakat dan ketrampilannya, ia mulai menciptakan syair dan irama lagu melalui gitar, yang ternyata mendapat sambutan yang luar biasa. Dengan cepat namanya dikenal masyarakat, dan saat berusia 18 tahun ia telah mencetak delapan album lagu. Mulailah ia melakukan show di berbagai penjuru dunia, dan mengumpulkan banyak ketenaran, pujian, sekaligus kekayaan yang terus mengalir masuk ke koceknya.
Tetapi pada titik puncaknya itu, ia sering melihat keadaan mereka yang di bawah, yang miskin dan hidup dalam kesulitan, dan ia menjadi gamang dan khawatir. Ia takut kehilangan semuanya itu dan menjadi kaum yang di bawah. Sejak itu perasaannya menjadi tidak tenang, rasa was-was selalu merasuk dalam jiwanya. Dan sejak saat itu pula, ia mulai menenggak minuman keras hampir setiap harinya, untuk ‘menanggulangi’ kecemasan jiwanya. Minuman beralkohol itulah yang memberi semangat dalam karier dan hidupnya. Pada waktu itu ia merasa sepertinya semua orang. memakai topeng, mereka bersikap munafik untuk bisa menjual ‘dirinya’, untuk bisa mendapatkan keuntungan sesaat agar tetap hidup.
Ketika menyadari semua itu adalah sesuatu yang merugikan dan kejam, ia mulai membenci kehidupannya sendiri. Sedikit atau banyak, didikan rohaniah (kristen tentunya) ketika masih kecil mengusik hatinya. Karena itulah ia mulai menjalani kehidupan menyendiri, meninggalkan gegap gempita dunia entertainment yang telah memberinya banyak kekayaan dan ketenaran. Jiwanya terasa sakit tak terkendalikan, dan itu berdampak pada fisiknya. Ia dipindahkan ke rumah sakit dan ternyata ia mengidap penyakit TBC. Selama tinggal di rumah sakit, ia banyak memperoleh kebaikan karena mereka mengajarkan pada dirinya, bagaimana caranya berfikir secara positip, menatap kehidupan dengan cara yang lebih baik.
Setelah itu datang perasaan beriman kepada Tuhan, tetapi pengajaran gereja, baik yang diterimanya ketika masih kecil atau penjabaran para pendeta saat itu, tidak memberikan penjelasan tentang siapa Tuhan itu sebenarnya, yang bisa memuaskan perasaannya. Akhirnya fikirannya lumpuh untuk menjelaskan siapa Tuhan, atau apa itu Tuhan seperti yang pernah disebut-sebut di gereja ketika ia masih kecil dahulu.
Bagaimanapun juga, ketika ‘sentuhan dan panggilan’ Ilahiah untuk mengenal-Nya datang pada seseorang, ia tidak akan pernah berhenti mencari sampai memperoleh jalan memahami-Nya. Hal itu juga yang terjadi pada Cat Stevens, ketika akal dan logikanya lumpuh dan hanya menemui jalan gelap, ia mulai mengalihkan pemikirannya ke suatu cara hidup yang baru, ia mulai membaca berbagai macam kepercayaan dan pemikiran ketimuran, yang lebih mengedepankan kepada perasaan dan renungan daripada akal dan logika.
Ketika ia ‘kembali’ ke dunia nyata, muncul suatu perasaan akan adanya suatu ‘Tujuan’ tetapi ia masih tidak memahami apa tujuan yang datang padanya itu. Tanpa disadarinya, ia seringkali hanya duduk menyendiri dalam lamunan yang panjang. Mulailah ia berfikir untuk mencari kebahagiaan yang tak pernah didapatkan dari kekayaan, kejayaan atau kemashuran yang pernah diraihnya,  atau dirasakannya dalam kehidupan gereja.
Ia memilih untuk memeluk agama Budha dan juga mulai mendalami pemikiran Cina. Dari mempelajari dan memahami akan apa yang terjadi, ia berharap memperoleh kebahagiaan. Dengan adanya petunjuk dan isyarat akan terjadinya suatu peristiwa, ia berharap dapat menghindar dari suatu kerugian, kehancuran atau kejahatan. Tetapi berlalunya waktu, ia menjadi seorang yang berserah kepada keadaan dan mempercayai bintang-bintang. Ia juga percaya para peramal, tetapi kemudian ia merasa bahwa semua itu ternyata omong kosong belaka.
Semua yang dipelajari dan dijalaninya itu ternyata belum ‘memuaskan’ dahaganya, dan ia merasa belum sampai kepada ‘tujuan’ yang diharapkannya. Ia berpindah keyakinan lagi, dan ia memilih untuk menjadi seorang yang berfaham komunis. Logikanya menduga bahwa kebahagiaan akan terwujud jika kekayaan dibagi rata ke seluruh manusia di dunia ini, sebagaimana konsep komunisme, ‘Sama Rata Sama Rasa’. Tetapi lagi-lagi ia merasakan faham ini tidak selaras dengan naluri kemanusiaan, yakni keadilan. Keadilan itu bukanlah dibagi samarata, tetapi setiap orang berhak atas sesuatu sesuai dengan jerih payah atau usahanya. Bukannya setelah seseorang bersusah payah mendapatkan suatu hasil, kemudian dibagi rata dengan orang. yang. tidak bersusah payah atau bermalas-malasan saja untuk mendapatkan itu.
Akhirnya ia berkesimpulan (ketika itu belum mengenal Islam), bahwa tidak ada ajaran yang bisa memuaskan dahaga dan pencariannya, dan ia kembali pada kepercayaannya, yakni ke gereja. Bagaimanapun juga gereja masih lebih baik dari semua yang pernah ditemukan dan dipelajarinya selama dalam pencariannya itu. Ia kembali pada dunia musik dan mulai dari bawah lagi dengan ketetapan hati bahwa Katholik inilah agamanya dan tidak ada agama lain. Ia berusaha ikhlas dengan keyakinannya itu, dan berusaha memperbaiki musik agar menjadi sesuatu yang terbaik. Ia mengambil satu pedoman dari ajaran gereja, yaitu : Jika ingin mencapai kedudukan seperti Tuhan, maka berusahalah untuk ikhlas menyelesaikan suatu pekerjaan.

Mulai Mengenal dan Memeluk Islam
Suatu hari di tahun 1975 terjadilah suatu keajaiban, tiba-tiba saja kakaknya yang tertua memberinya hadiah kitab Al-Qur‘an. Walau ia tidak mengerti bahasa Arab, tetapi seolah-olah ada daya tarik yang membangkitkan kembali keinginannya untuk mencari ‘tujuan’ yang belum ditemukannya itu. Ia mencari seorang penterjemah yang bisa menjelaskan, atau memberitahukan padanya, apa isi dari kitab Al Qur’an itu. Dan itulah pertama kalinya ia berfikir tentang Islam.
Sebenarnya bukannya ia tidak pernah mendengar tentang agama Islam sama sekali, tetapi Islam dalam pandangan orang-orang Barat saat itu adalah faham rasialis, dan kaum muslimin hanyalah orang-orang asing yang berasal dari Turki dan Arab walaupun mereka adalah warga negara di Eropa. Orang tuanya berasal dari Yunani, dan pada umumnya, orang-orang Yunani sangat membenci orang muslim Turki. Karena itu sudah sepantasnya kalau ia membenci agama dan keyakinan orang-orang Turki. Tetapi setelah melihat dan memperhatikan ayat-ayat dalam Al-Qur‘an yang telah diterjemahkan itu, ia tidak menemukan adanya larangan bagi siapapun untuk mengetahui isi dari Qur‘an itu sendiri.
Ketika pertama kali membuka lembaran Al-Qur‘an, yang diawali dengan Basmalah, ia langsung terpesona. Disana jelas tercantum nama ‘Allah’ dan dilanjutankan dengan ‘identitas’ lainnya, ‘Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’. Kalimat pendek itu seperti memberikan sepercik kesegaran pada jiwanya yang selama ini gersang. Pada ayat selanjutnya dari surat Al Fatihah itu, yakni Alhamdu lillaahi rabbil ‘alamin, yang artinya : Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, sekali lagi ia memahami ‘identitas’ ketuhanan itu, dan ia merasakan diri dan jiwanya yang teramat kecil dan lemah, di hadapan Allah SWT.
Dahulu dalam kehidupannya di gereja, mereka mengajarkan bahwa Allah adalah satu dan terbagi menjadi tiga. Saat itu muncul pertanyaan bagaimana terjadinya, tetapi ia tak tahu bagaimana penjelasan yang bisa diterima logikanya. Mereka juga mengatakan bahwa Allah kaum Nasrani itu berbeda dengan Allah kaum Yahudi, dan hal itu tidak bisa diterima akal sehatnya. Bagaimana jadinya kehidupan kalau dua Allah yang berbeda itu ‘bertempur’ berebut kekuasaan, seperti halnya dua raja di dunia yang berperang saling memperebutkan wilayah?
Tetapi baru saja dengan dua ayat Al Qur’an yang dibacanya, seakan-akan ia telah memperoleh jawaban atas berbagai pertanyaan dan kebimbangan tentang ketuhanan, yang menggelayutinya selama bertahun-tahun. Ayat demi ayat selanjutnya, memberinya kegairahan untuk terus membaca dan  mempelajarinya. Semua penolakan dan ‘pemberontakan’ yang sempat membawanya kepada ajaran komunis seolah terpuaskan dengan membaca Al Qur’an tersebut.
Dalam pandangan Cat Stevens, Al-Qur‘an sebagai suatu ‘kitab’, tampak asing dan berbeda dengan kitab-kitab yang pernah dipelajarinya. Didalamnya tidak adanya paragraf atau alenia, atau juga penjelasan seperti yang terdapat pada Al Kitab/Bibel (Perjanjian Lama, Perjanjian Baru) misalnya. Pada Al-Qur‘an tidak tercantum nama pencatat atau penulisnya, semua kalimat dan maksudnya tersusun secara rapi, tidak ada yang saling bertentangan satu sama lainnya. Di semua tempat dalam Al Qur’an menyatakan bahwa Allah Maha Esa. Bukan hanya satu utusan saja, yakni Nabi Muhammad SAW, tetapi semua nabi-nabi yang pernah diutus Allah disebutkan di dalamnya. Mereka semua yang dikasihi Allah dan sejajar derajatnya di sisi-Nya, tidak ada perbedaan di antara mereka. Dari sinilah ia makin yakin dan percaya bahwa Al Qur’an benar-benar wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul/ utusan-Nya
Setelah membaca dan mempelajari Al-qur‘an selama setahun, ia mulai mencari cara bagaimana ia memahami isinya. ‘Kegairahannya’ untuk belajar membuatnya merasakan bahwa hanya dia sajalah seorang muslim di dunia saat itu, apalagi dengan situasi ‘modernisasi’ kota London. Pada akhirnya, setelah ia makin mantap untuk memeluk Islam, ia pergi ke masjid di London dan mengucapkan dua kalimah syahadah, kesaksian bahwa tidak Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Ia mengganti, atau memperoleh nama Islami menjadi Yusuf Islam.
Tetapi begitu kesaksian itu meluncur dari mulutnya, ia merasakan bahwa hal itu adalah ajaran yang berat. Bukan kalimat yang ringan semudah ia mengucapkannya, tetapi menuntut suatu tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas sebagai seorang muslim. Di sisi lain, ia merasa baru terlahir kembali, walaupun segudang beban dan tantangan tampak menghadang di depan mata. Tentulah situasi masyarakat London sangat berbeda dalam menyikapi seorang muallaf seperti dirinya, dibandingkan masyarakat Indonesia misalnya, yang Islam menjadi agama mayoritas penduduknya. Apalagi sebelumnya ia telah dikenal sebagai ‘publik figure’ walau hanya di bidang musik, dalam level yang mendunia.
Cat Stevens, atau kini menjadi Yusuf Islam, memperoleh hidayah karena cukup intensif mempelajari Al-Qur’an, tetapi ketika ia bergaul dengan kaum muslimin lainnya terkadang ia mendapati kenyataan yang berbeda dengan apa ‘tertanam’ di dalam pikirannya. Beberapa dari mereka menunjukkan pada dirinya tentang apa itu Islam tetapi sepertinya ‘berbeda’ dengan gambaran ‘ideal’ yang terlanjur tertanam dalam dirinya ketika mempelajari Al Qur’an, sehingga terkadang ia mengabaikannya. Ketika ia lebih jauh mengamati, ternyata hal itu disebabkan kebanyakan dari kaum muslimin itu lebih banyak memperturutkan hawa nafsu dan kesenangan duniawiah semata. Pengaruh negatif dari pemberitaan dunia barat dan juga beberapa negara muslim ikut mengaburkan hakikat ajaran Islam. Tanpa disadari mereka banyak mendukung pada orang-orang atau golongan atau gerakan yang justru merendahkan Islam.
Seperti halnya ketika ia ‘terpecik’ hidayah untuk mempelajari Al Qur’an, kini ia terdorong untuk mempelajari peri kehidupan tokoh sentral salam Islam Nabi Muhammad SAW, dan dari sinilah ia mendapatkan “inti” dari ajaran Islam. Sejak saat itu ia mengetahui bahwa ‘jalur’ yang maha berharga dalam kehidupan ini adalah Rasulullah SAW dan sunnah-sunnahnya. Keasyikannya dalam mempelajari jalan hidup Nabi SAW membuatnya terlupa akan dunia yang membesarkannya, dunia musik. Ketika suatu hari ia menanyakan pada seorang ulama, apakah ia boleh melanjutkan kehidupannya dalam dunia musik? Beliau menasehatkan untuk berhenti saja, katanya, ”Musik akan mengambil sebagian besar waktumu untuk berdzikir kepada Allah, dan hal itu adalah sesuatu yang amat berbahaya bagimu.”
Yusuf Islam mematuhi nasehat itu, ia benar-benar meninggalkan dunia musik dan terjun dalam dunia dakwah Islamiah. Semua kekayaan dan hartanya yang telah terhimpun sangat banyak selama berkarir dalam dunia entertainment itu, kini digunakannya untuk merambah jalan dakwah, jalan amar ma’ruf nahi munkar, jalan menyebarkan Islam, dan jalan menuju kepada Allah SWT.

Disunting dari : Yusuf Islam : Bagaimana saya memeluk Islam
Swaramuslim.net, Journey to Islam, 28 Apr 2005 - 7:34 am (1.074)

Selasa, 22 April 2014

Leoni Fatimah (Putri Wong Kam Fu), Terpesona dengan Alunan Adzan dan Al Qur’an

Terlahir dengan nama Pek Kim Lioe, pada 22 Oktober 1953 di Batu, Malang, Jawa Timur, dalam pergaulan sehari-harinya ia dipanggil dengan nama Leoni. Kalau kemudian ia dikenal dengan nama Putri Wong Kam Fu, tidak lain karena ia adalah cucu dari seorang ahli Astrolog terkenal bernama Empeh Wong Kam Fu, yang di kemudian hari ia juga ‘mewarisi’ ilmu tersebut.
Leoni adalah putri tunggal dari pasangan Pek Sek Liang dan Ani, sebuah keluarga WNI keturunan Cina. Sejak kecil ia dididik dalam lingkungan Nasrani, mulai SD hingga SMA, tetapi mereka tinggal di perkampungan muslim. Walaupun demikian, pergaulan dan interaksi mereka dengan warga sekitarnya sangat erat. Mereka sudah menganggap keluarga Leoni seperti saudara sendiri, sehingga sejak awal ia telah merasakan adanya persamaan dan persaudaraan dalam Islam. Dan dari sini pulalah sedikit demi sedikit ia mulai mengenal ajaran mereka.
Sebelum menamatkan SMA-nya, Leoni telah dipinang dan kemudian menikah dengan Gabriel Dela Dorolatta Mustar, seorang pemuka Nasrani yang berasal dari Nganjuk. Mustar adalah seorang guru sebuah SMP di Batu, dan mereka tetap tinggal di lingkungan yang sama hingga ia mempunyai beberapa orang anak.
Suatu ketika Leoni dan suaminya sedang menonton televisi mengenai Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) yang disiarkan langsung dari kota Pontianak (Kalbar). Saat acara berlangsung, mereka menatap dengan penuh perhatian, tetapi tetap membisu saja, seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tetapi tiba-tiba suaminya berkata, "Leoni, bagaimana kalau kita masuk Islam?"
Pertanyaan yang sangat tiba-tiba ini membuat Leoni kaget, tetapi ia tetap membisu sambil menatap suaminya. Pertanyaan seperti itu sepertinya telah menjadi ‘penantiannya’ sejak lama, walau mungkin hanya tersimpan di alam bawah sadarnya. Suatu pertanyaan atau ajakan yang tanpa disadarinya sangat diharapkannya muncul. Dan ketika hal itu benar-benar terlontar, pertanyaan itu terasa memberikan kedamaian. Ada kesejukan dalam batinnya saat itu.
Sesungguhnya sudah lama Leoni merindukan sebuah kedamaian. Sebelumnya, ia pernah merasakan suatu kedamaian ketika mendengar suara adzan magrib dan subuh dari sebuah masjid yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya. Alunan suara yang memanggil orang islam untuk segera shalat ini, sering membuatnya resah. Diam-diam ia mencari tahu, sesungguhnya rahasia apa yang ada di balik suara yang menggetarkan hatinya itu. Tanpa diketahui suaminya, ia mulai mempelajari buku-buku agama Islam yang dibelinya diam-diam. Terkadang, tanpa rasa malu dan sungkan ia mendatangi tokoh-tokoh agama di kampungnya, dan bertanya berbagai hal yang berkaitan dengan Islam.
Perubahan yang terjadi pada Leoni sepertinya tidak lepas dari perhatian kakeknya, Empeh Wong Kam Fu. Karena itu suatu kali beliau memperkenalkannya dengan Haji Masagung (almarhum), seorang pengusaha muslim keturunan Cina dan juga teman kakeknya itu sejak kecil. H Masagung memberinya dua buah buku agama yang berjudul : “Dialog Islam dan Kristen” dan “Sejarah Islam Tionghoa”.
Setelah membaca dan mempelajari dua buku itu, pengaruhnya terhadap keimanannya ternyata cukup besar. Tetapi semua kegiatannya (mempelajari Islam) dan perubahan perasaannya (terhadap keimanannya) sengaja disembunyikannya. Tak pernah sedikitpun ia membicarakannya dengan suaminya, karena ingin menjaga perasaannya. Bagaimanapun juga suaminya itu berasal dari keluarga Nashrani yang terkemuka, tentunya apa yang dilakukan dan dirasakannya itu akan ‘mencoreng’ nama baik keluarga besarnya.
Rasa simpati kepada orang Islam dan ajarannya makin tak tertahankan ketika kakeknya, Empeh Wong Kam Fu meninggal dunia. Kendati kakeknya seorang Tionghoa yang beragama lain, ternyata yang datang melayat dan membantu mengurus jenazah justru orang Islam setempat. Mereka dengan sukarela dan ikhlas membantu tanpa melihat latar belakang suku dan agama. Hatinya makin terpesona dengan kekerabatan orang Islam setempat. Rasanya, saat itu juga ia ingin mengutarakan kepada suaminya, apa yang selama ini dipendamnya, tetapi ia masih bisa menahannya.
Ternyata suaminya diam-diam juga mengamati kegiatan orang Islam di sekitar rumah tinggalnya. Ia sangat terharu pada keikhlasan masyarakat dalam membantu keluarga besar istrinya yang tengah mendapat musibah. Puncaknya, adalah ketika ia mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an saat menonton siaran MTQ Nasional di Pontianak melalui tayangan televisi, kemudian melontarkan ajakan untuk memeluk Islam kepada Leoni.
Tentu saja Leoni menyambut gembira ajakan suaminya itu, dan ia menyampaikan apa yang selama ini tersimpan dalam perasaannya. Akhirnya mereka berdua sepakat untuk menemui Haji Masagung. Tetapi sesampainya di Jakarta, mereka tidak mendapat sambutan ‘gegap gempita’ dari beliau sebagaimana membludaknya perasaan dan semangat mereka untuk memeluk Islam. Dengan tenang beliau berkata, "Bila hendak menjadi seorang muslim sejati, syaratnya harus berani menderita dan mati atas nama Islam. Dan, kalau kalian mau masuk Islam, tak perlu jauh-jauh ke Jakarta. Cukup melalui KUA (Kantor Urusan Agama) setempat saja."
Setelah bertemu Haji Masagung dan mendapat nasehat-nasehat yang cukup menyejukkan hati, mereka segera pulang ke Malang. Sesuai saran teman kakeknya itu, mereka menemui Pak Kasdri, modin (modin=imamud-diin, pimpinan agama) yang juga menjadi muadzdzin di masjid. Kedatangan mereka disambut dengan sukacita. Wajah Pak Kasdri berseri-seri saat mendengar niat kami masuk Islam. Esok harinya, Pak Kasdri mengajak mereka ke kantor KUA Kecamatan Batu. Disana kami dipertemukan dengan staf KUA, Bapak Nursyasin Masdrah. Oleh beliau mereka diimbau untuk berpikir dan mempertimbangkan masak-masak. Namun, keinginan untuk masuk Islam sudah menggebu-gebu, terutama suaminya. Ia langsung menanyakan berbagai hal kepada Pak Nuryasin. Semua pertanyaan suaminya dijawab dengan sabar olehnya.
Untuk memantapkan hati, mereka terus berdialog dengan Pak Kasdri dan seorang ulama dan tokoh Islam di Malang, KH Suyuthi Dahlan (Almarhum). Sebagai orang tua, mereka juga memberitahukan dan mengajak anak-anaknya untuk memeluk Islam. Ajakan itu ternyata direspon positif oleh anak-anaknya, dan mereka bersedia untuk memeluk Islam bersama orang tuanya.
Setelah beberapa kali berkonsultasi, akhirnya taufik dan hidayah itu datang juga memantapkan mereka untuk memeluk Islam. Sebelum mengucapkan syahadat, mereka sekeluarga mempersiapkan diri. Leoni membersihkan seluruh tubuhnya, begitu juga dengan suami dan anak-anaknya. Leoni mengenakan kain panjang dan baju kebaya tertutup dan memakai kerudung. Suaminya mengenakan kain sarung, baju putih lengan panjang dan kopiah. Demikian juga dengan anak-anaknya. Tepat bakda (setelah) shalat Jumat, di Masjid an-Nur, Kidul Pasar Malang, pada tanggal 12 Juli 1985, mereka sekeluarga dibimbing KH Suyuthi Dahlan, mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat. Sungguh, Leoni tak dapat menahan rasa harunya, tanpa terasa air matanya menetes. Ia sangat bersyukur, dan tiba-tiba saja hatinya yang selama ini gelisah menjadi damai.
 Setelah menjadi seorang muslimah, namanya diganti menjadi Fatimah, nama pemberian itu digabungkan dengan nama lamanya, sehingga menjadi Leoni Fatimah. Nama suaminya diganti menjadi Mohammad Mustar. Keharuan kian menjadi setelah ikrar selesai, Pak Kasdri memberi selembar sejadah kepadanya, dan HA Zalaroa, memberi suaminya kopiah. Para tetangga menyambut gembira dan bersyukur atas keislaman mereka sekeluarga. Untuk menambah dan memperkokoh keimanan, Leoni bersama suami dan anak-anaknya mulai aktif belajar membaca dan menulis Al-Qur'an serta mengikuti berbagai pengajian. Leoni mendirikan mushala di rumah untuk shalat berjamaah, dan pada tahun 1987 ia dapat menunaikan ibadah Haji.
Leoni mulai aktif berdakwah setelah terpilih menjadi Ketua Yayasan Karim Oei Jawa Timur, pada 26 November 1995. Dalam memimpin yayasan ini ia mencanangkan salah satu program untuk mengajak warga keturunan untuk mengenal dan memahami Islam secara lebih mendalam, yaitu lewat kegiatan rutin belajar membaca dan menulis Al-Qur'an dan berbagai macam pengajian.

Disunting dari : Putri Wong Kam Fu (Pek Kim Lioe) : Tergugah Acara MTQ Nasional
Swaramuslim.net, Journey to Islam, 01 Nov 2003 - 11:03 pm (1.005)

Craig Abdurrohim Owensby, Dari Pendeta menjadi Pendakwah

Craig Owensby, seorang lelaki kelahiran Chicago, Illinois AS pada tahun 1961, tumbuh dan berkembang dari keluarga Kristen Ortodoks yang taat, bahkan ayahnya, Walter Owensby seorang pendeta. Walau ia lulusan MBA dari University of Wisconsin, Madison, pada tahun 1986, ditambah kemudian pendidikan kependetaan di Princeton Theological Seminary, Princeton, NJ, 1991, dan meraih gelar Master of Theology (Teologi Kristen tentunya), tetapi ketika percik hidayah Allah SWT menyapanya, akhirnya ia memutuskan untuk memeluk Islam.
Menyabet gelar MBA dan bekerja di sejumlah perusahaan prestisius di negerinya, Amerika Serikat, serta menikmati kesenangan duniawi yang berlimpah, tak membuat Craig Owensby bahagia. Bathinnya hampa. Dia butuh pencerahan rohani sebagai pengimbang. Setelah bertahun-tahun merintis karir, Craig memutuskan belajar Injil, teologi, dan keislaman di Princeton Theological Seminary, Princeton, NJ. Beberapa tahun kemudian ia menjadi pendeta mengikuti jejak sang ayah yang pendeta Katolik di sebuah gereja di New York dengan 6.000 pengikut.
Meski sukses sebagai pendeta, kebahagiaan dan ketenangan bathin yang ia dambakan belum juga berpaling kepadanya. Craig justru kian resah dengan konsep ketuhanan Yesus yang ia pelajari. Pengetahuan yang ia miliki membuatnya tak percaya bahwa Isa adalah Tuhan, "Injil menjelaskan bahwa Isa adalah tuan, bukan Tuhan," begitu kesimpulan yang diambilnya setelah mendalami Injil; selama bertahun-tahun.
Di tengah kerisauan hatinya, pada suatu hari secara tak sengaja perhatiannya tertuju pada seorang kawannya bernama Nashir, yang tergabung dalam kelompok sepakbola Pakistan. Baginya, Nashir berbeda dengan anggota tim lainnya yang dinilai lebih pintar, disiplin, dan baik. Bagi Craig, Nashir dianggap mencerminkan sosok Muslim yang sebenarnya. Hal ini membuatnya tertarik dengan konsep Islam, yang kemudian berlanjut dengan keputusannya berhenti menjadi pendeta, untuk bisa mempelajari Islam secara lebih intensif. Kemudian ia terjun kembali ke bidang bisnis, di samping terus mendalami Islam secara otodidak.
Percik-percik hidayah Allah datang tatkala dia ditugaskan bekerja di Indonesia sekitar tahun 1997. Craig tinggal di kawasan Muarabaru, Jakarta Utara. Di lingkungan tempat tinggalnya yang baru, dia menemui banyak hal yang sangat menyentuh batin, khususnya kemiskinan dan penderitaan hidup yang dialami masyarakat sekitarnya. Craig tertarik dengan kehidupan anak-anak Muslim di wilayah itu. Menurutnya, walau miskin, mereka hidup dengan penuh kesederhanaan dan tetap mampu tampil bersih serta bahagia.
Sejenak dia teringat pada masa kecilnya ketika masih tinggal bersama orang tuanya di Meksiko dan Kolumbia. Ketika itu ia menyaksikan betapa anak-anak Katolik di sana hidup penuh kekerasan, miskin, dan kotor. Tak ada cerminan ketenangan dan kedamaian dalam hidup mereka. Craig merasakan kedua hal yang bertentangan itu memberinya inspirasi untuk mengetahui dan mempelajari agama Islam lebih jauh.
Waktu demi waktu berlalu, Craig sudah sangat akrab dengan istilah-istilah Islam pada tahun-tahun terakhir, rasanya hanya tinggal ‘gong pamungkas’ yang membawanya untuk memeluk Islam. Suatu ketika ia terbangun di saat subuh, sekitar pukul 04.30 WIB, dan itu sangat tidak biasa baginya. Saat terbangun itu ia bergumam, "Sungguh menakjubkan."
Ketika keluar dari kamar, dia melihat salah satu dari anak asuhnya sedang melaksanakan salat subuh dengan tenang dan khusyuknya. Craig tertegun. Sejenak dia memandangi anak asuh itu, dan merasa amat tersentuh. Lagi-lagi ia bergumam, "Anak sekecil ini kok bisa disiplin terhadap agamanya? Kenapa pula dia harus salat?”
Kemudian Craig mengambil dan mempelajari dengan serius buku Karen Armstrong yang berjudul The Life of Muhammad. Sebuah buku tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW yang sangat bagus dan realistis, meski penulisnya bukan seorang muslim. Ia mempelajari dengan giat makna salat dan juga tentang Islam yang lebih luas. Akhirnya dia memutuskan pilihan dan jalan hidupnya, akan masuk Islam. "Saya mau mengucap kalimat syahadat," ujarnya.
Ketika tekadnya sudah sangat bulat, dia memutuskan untuk pergi ke sebuah pengajian di daerah Kemang, tempat pengajian khusus para bule. Oleh salah satu pengasuh, yakni Ustad Rickless, ia disuruh banyak membaca hadits dari buku hadits yang sangat besar. Craig agak bingung; kenapa harus ada hadits? “Kenapa saya harus membacanya? Bukankah Alquran pun sudah sempurna?” Begitu pikirnya.
Tetapi karena sang ustad telah memerintahkan, ia memutuskan untuk membacanya, sampai akhirnya ia dapat mengerti bahwa hadits itu memang penting. Craig sudah sampai pada ‘action’ sebagai muslim yang benar, yakni melakukan salat lima waktu, walaupun ia belum mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia pernah mengatakan kepada beberapa koleganya di Amerika pada Desember 1998, bahwa ia akan memeluk Islam. Itu setelah beberapa kali ‘mondar-mandir’ ke Jakarta.
Proses pencarian kebenaran Islam terus dilakukan, sampai pada suatu satu hari di bulan Mei 2001 ia mengikrarkan diri menjadi Muslim di Pengajian Rahmania, Kuningan, dengan bimbingan Ustadz Rikza Abdullah. Ketika ditanyakan alasan keputusannya memeluk Islam, ia berkata, "Saya ingin menjadi orang yang tahu kebenaran. Saya bersedia menjadi Muslim karena ingin kebenaran. Bisa saja kebenaran itu menyusahkan, tapi saya percaya dengan kebenaran itu."
Setelah memeluk Islam, Craig ‘melengkapi’ namanya dengan identitasnya sebagai muslim tanpa meninggalkan nama aslinya, Craig Abdurrohim Owensby. Setahun kemudian ia menikahi seorang gadis Sunda Lilis Fitriyah.
Sejak keislamannya itu, Craig makin yakin dengan ajaran Alquran bahwa manusia dilahirkan suci dan menjadi khalifah di bumi. Ia berkata, "Saya sekarang telah menjadi khalifah bagi Allah. Awalnya saya Islam hanya dengan membaca, berpikir, dan berbicara, tapi belum mempraktekkan. Sekarang saya memutuskan untuk menjalankan Islam secara serius."
Meski telah serius memilih Islam sebagai keyakinannya, tetapi muallaf ini merasa masih harus 'berjuang' menjadi Muslim yang sebenarnya. Pasalnya, ia tak biasa bangun pagi. Kini ia harus melaksanakan shalat Subuh ketika biasanya di waktu sama masih tertidur pulas. Namun, akhirnya ia merasa bersyukur mampu menaklukkan ego dirinya. Baginya, dapat menjalankan shalat Subuh dengan baik merupakan tolok ukur kemampuannya melaksanakan shalat wajib yang lain. "Pertama kali shalat Subuh saya sangat puas dan senang. Setelah itu melaksanakan shalat-shalat yang lain menjadi enteng."
Tidak hanya sampai di situ, rupanya Craig belum merasa menjadi Muslim kaffah sebelum dapat mendakwahkan Islam. Menurutnya ada dua fase yang ia jalani, yaitu menjadi Muslim dan berdakwah. Kini ia sedang melakukan fase kedua itu sambil berbisnis, yakni dengan melontarkan sebuah program layanan ‘Al-Qur’an Seluler”. Craig yakin sarana dakwahnya ini bakal bermanfaat karena tak membeda-bedakan seseorang. "Sebagai gerakan Qurani, program dakwah ini saya jadikan sarana berkompetisi dengan evangelis (para misionaris dan pendakwah Kristen). Kita harus mempunyai umat yang kuat imannya dan lebih baik dari umat non-Muslim."

Disunting dari : Craig Abdurrohim : Islam Jalan Hidupku
Swaramuslim.net, Journey to Islam, 25 Oct 2003 - 4:48 am (1.003)