Senin, 13 Oktober 2014

Cindy Claudia Harahap, Pesona Bulan Sabit dan Bintang yang Berdampingan

Allah SWT memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki, begitulah yang terjadi pada diri Cindy Claudia Harahap, putri sulung dari musisi veteran Rinto Harahap. Saat usianya belasan tahun, ia terombang-ambing hidup di tengah-tengah keluarga Muslim dan non-Muslim. Keluarga ayahnya non-Muslim sementara keluarga dari ibu beragama Islam, tetapi ia lebih cenderung kepada ayahnya.. Penyanyi kelahiran Jakarta, 5 April 1975 ini memperoleh hidayah ketika sedang menempuh pendidikan di St Brigidf College, Australia.
Saat itu, sekitar tahun 1991, Cindy bersama sahabat karibnya yang juga artis papan atas Indonesia, Tamara Blezinsky, yang sama-sama sekolah di sana, sedang tiduran tengah malam di atas rumput halaman asrama sekolahnya. Hampir setiap hari mereka ngobrol karena hanya mereka berdua orang Indonesia di sana. Mereka juga mempunyai kondisi yang sama tentang orang tuanya, yakni keyakinannya berbeda. Ketika berbaring dengan mata menerawang ke atas, di langit yang cerah terlihat bulan sabit yang bersebelahan dengan bintang yang bersinar cemerlang, tampak sangat indah dan serasi sekali sekali, seperti lukisan saja. Cindy berkata, ''Tamara, kayaknya aku pernah lihat yang seperti ini!! Di mana ya, kok bagus banget? Kayaknya lambang sesuatu, apa ya?''
Tamara menjawab kalau itu adalah lambang sebuah masjid. Cindy berkata lagi, ''Jangan-jangan ini suatu petunjuk kalau kita harus ke masjid.''
Sungguh suatu tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Kalau di Indonesia tidak asing, bahkan di segala penjuru mereka dapat menemukan, atau setidaknya melihat masjid, tetapi jarang sekali melihat masjid selama di Australia. Cindy pun berfikir untuk memeluk Islam, dan mengajak Tamara melakukannya juga. Ia berkata, ''Suatu hari nanti saya pasti akan terpanggil untuk memeluk agama Islam.''
Setelah kembali ke Indonesia, Cindy dan Tamara lama berpisah. Tetapi saat kemudian bertemu kembali di Jakarta, ternyata mereka telah sama-sama menjadi pemeluk Islam. Pelantun tembang melankolis ini mengungkapkan, dirinya masuk Islam lebih pada panggilan jiwa dan hati. Menurutnya, orang memeluk suatu agama itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksakan, tergantung masing-masing orang dalam menyikapinya.
Tentu, selain dirinya sendiri yang ‘tergugah’ dengan pengalamannya ketika sekolah di Australia, pihak lain yang turut mempengaruhi dan menguatkan tekadnya adalah mamanya dan Thoriq Eben Mahmud, yang kemudian menjadi suaminya pada tanggal 4 juli 1998.. Dari awal saat pacaran, Cindy banyak belajar tentang Islam dari laki-laki keturunan Mesir itu. Mereka sering berdiskusi dan Thoriq pun menjelaskan dengan bijaksana dan penuh kesabaran. Thoriq tidak pernah memaksanya, tetapi dia sering membelikan buku-buku tentang Islam, bahkan, terkadang kayak anak TK saja dibelikan buku cerita yang bergambar. Tapi justru karena itulah hatinya makin tertarik, sampai akhirnya ia dibelikan Alquran dengan terjemahannya. Saat itulah ia mulai membaca artinya, walau belum bisa bahasa Arabnya.
Ketika saatnya tiba dan hatinya telah semakin mantap, Cindy melafalkan Dua Kalimat Syahadat di hadapan seorang guru agama Islam SMA 34 Jakarta, di sebuah tempat yang sangat sederhana, tepatnya di mushalla kecil sekolah itu. Ia memang tidak ingin suasana yang ‘gegap gempita’, apalagi menjadi konsumsi media segala. Kekhusyu’an, keteduhan dan kekhidmatan yang lebih ingin dirasakannnya ketika ia memutuskan untuk pindah keyakinan menjadi muslim.
Dalam proses mempelajari Islam, Cindy mengakui tidak banyak menghadapi kendala yang berarti, cuma harus menyesuaikan diri saja. Ia sudah terbiasa melihat ibadah keluarganya yang beragama Islam. Bahkan sebelum memeluk Islam, ia sudah sering ikut-ikutan puasa saat Bulan Romadhon tiba. Dalam belajar mengaji (membaca Al Qur’an), Cindy mendatangkan seorang ustad ke rumahnya. Pada awalnya memang ada kesulitan, tapi akhirnya bisa berjalan lancar.
Keluarganya sangat toleran terhadap agama karena pada dasarnya, menurut mereka, semua agama itu sama, yakni mengajarkan hal yang baik hanya caranya yang berbeda-beda. Ayahnya, Rinto Harahap pernah berkata, bahwa apapun agama yang Cindy putuskan untuk dianut itu terserah, yang penting dilaksanakan dengan sungguh-sungguh
Jauh sebelumnya ketika masih non muslim, Cindy sempat berfikir bahwa menjadi seorang Muslim itu sepertinya repot sekali. Kalau mau masuk tempat ibadah (masjid) untuk shalat, harus wudhu, lepas sandal/sepatu dan harus pakai mukena pula. Pada bulan Ramadhan harus berpuasa selama sebulan penuh. Berbeda sekali dengan ‘kemudahan’ dari agama yang dipeluknya saat itu. Tetapi setelah mempelajari Islam dengan benar, Cindy menyadari justru itulah kelebihan Islam bila dibandingkan dengan agama lain. ''Kalau kita hendak menghadap Allah, kita harus benar-benar dalam kondisi yang bersih. Bersih jiwa dan bersih diri.''
Cindy mengungkapkan, alangkah bahagianya kita sebagai umat Islam dikaruniai bulan ramadhan, di mana kita diberi kesempatan untuk membenahi diri. ''Menurut saya, bulan Ramadhan itu bulan bonus dan setiap tahun saya merasa kangen dengan Ramadhan''.
Selama ini Cindy selalu berusaha membagi waktu sebisa mungkin untuk tidak meninggalkan ibadah. ''Kalau kita ada waktu ya ibadah harus dilakukan. Cuma saya tidak munafik, sebagai manusia masih harus berusaha keras agar ibadah tidak bolong dan tetap lancar.''
Ia mengakui bila jadwal syuting padat, ibadah shalat suka terlewatkan. Tapi bila sedang berada di rumah, ia selalu menunaikan shalat berjamaah dengan suaminya.. Sejak dini memperkenalkan kepada anaknya kehidupan agama dengan memasukkan anak pertamanya ke TPA (Tempat Pendidikan Alquran) di masjid dekat rumah. Beberapa bulan setelah menikah, ia diberi hadiah pernikahan oleh mertua berupa umrah bersama suaminya. Ia merasa sangat berkesan saat pertama melihat Ka'bah karena sebelumnya hanya disaksikan lewat televisi atau gambar saja. Waktu itu ia berangkat umrah saat bulan Ramadhan dan ia sedang hamil enam bulan. Cindy mengaku justru bisa menunaikan ibadah puasa dengan lebih baik di sana, yang tadinya di Jakarta tidak bisa puasa. ''Alhamdulillah, sampai di sana tidak ada kendala atau kejadian buruk apapun.''

Disunting dari : Lewat Bulan Bintang, Cindy Claudia Dapat Hidayah
Swaramuslim.net, Journey to Islam,  07 Jan 2005 - 6:30 am (1.052)

Muhammad Syafii Antonio, MSc. (d/h Nio Cwan Chung), Menjadi Muslim, dari Ikutan Menuju Pemahaman Ilmiah

Lahir di Sukabumi, Jawa Barat, tanggal 12 mei 1965, dengan nama asli Nio Cwan Chung, jelas bahwa Muhammad Syafii Antonio adalah seorang WNI keturunan Tionghoa. Sejak kecil ia mengenal dan menganut ajaran Konghucu, karena ayahnya seorang pendeta Konghucu. Selain mengenal ajaran Konghucu, ia juga mengenal ajaran Islam melalui pergaulan di lingkungan rumah dan sekolahnya. Ia sering memperhatikan cara-cara ibadah orang-orang muslim, dan karena terlalu sering memperhatikan, tanpa sadar ia suka melakukan shalat secara diam-diam. Kegiatan ibadah orang lain ini dilakukannya walaupun ia belum mengikrarkan diri menjadi seorang muslim.
Sebenarnya kehidupan keluarganya memberikan kebebasan dalam memilih agama, tetapi ayahnya membenci Agama Islam. Sikap ayahnya ini berangkat dari image dan gambaran buruk terhadap pemeluk Islam. Ayahnya sebenarnya melihat ajaran Islam itu bagus, apalagi dilihat dari sisi Al Qur’an dan Al Hadits. Tetapi ayahnya sangat heran pada pemeluknya yang tidak mencerminkan kesempurnaan ajaran agamanya. Gambaran buruk tentang kaum muslimin itu menurut ayahnya terlihat dari banyaknya umat Islam yang berada dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Bahkan, sampai mencuri sandal di mushola pun dilakukan oleh umat Islam sendiri. Jadi keindahan dan kebagusan ajaran Islam dinodai oleh perilaku umatnya yang kurang baik.
Walau telah ‘terbiasa’ melakukan ibadah kaum muslimin secara diam-diam, pada perkembangannya Nio Cwan Chung lebih memilih memeluk agama Kristen Protestan, dan berganti nama menjadi Pilot Sagaran Antonio. Kepindahan keyakinannya ke agama Kristen Protestan tidak membuat ayahnya marah. Mungkin akan berbeda ceritanya jika saat itu ia memilih untuk memeluk Islam, ayah pasti akan sangat kecewa.
Kendati demikian buruknya citra kaum muslimin di mata ayahnya, hal itu tidak membuat ia kendur untuk mengetahui lebih jauh tentang agama Islam. Untuk mengetahui agama Islam lebih mendalam, ia mencoba mengkaji Islam secara komparatif (perbandingan) dengan agama-agama lain. Dalam melakukan studi perbandingan ini ia menggunakan tiga pendekatan, yakni pendekatan sejarah, pendekatan alamiah, dan pendekatan nalar rasio biasa. Sengaja ia tidak menggunakan pendekatan kitab-kitab suci agar dapat mengetahui hasilnya secara obyektif.
Berdasarkan tiga pendekatan itu, ia melihat Islam benar-benar agama yang mudah dipahami ketimbang agama-agama lain. Dalam Islam saya temukan bahwa semua rasul yang diutus Tuhan ke muka bumi mengajarkan risalah yang satu, yaitu Tauhid. Selain itu, saya sangat tertarik pada kitab suci umat Islam, yaitu Al-Qur’an. Kitab suci ini penuh dengan kemukjizatan, baik ditinjau dari sisi bahasa, tatanan kata, isi, berita, keteraturan sastra, data-data ilmiah, dan berbagai aspek lainnya.
Ajaran Islam juga memiliki system nilai yang sangat lengkap dan komprehensif, meliputi system tatanan akidah, kepercayaan, dan tidak perlu perantara dalam beribadah. Dibanding agama lain, ibadah dalam Islam diartikan secara universal. Artinya, semua yang dilakukan baik ritual, rumah tangga, ekonomi, sosial, maupun budaya, selama tidak menyimpang dan untuk meninggikan syiar Allah, nilainya adalah ibadah. Selain itu, dibanding agama lain, terbukti tidak ada agama yang memiliki system selengkap agama Islam. Hasil dari studi banding inilah yang memantapkan hati saya untuk segera memutuskan bahwa Islam adalah agama yang dapat menjawab persoalan hidup.
Setelah melakukan perenungan untuk memantapkan hati, maka pada tahun 1984, yakni saat usianya mencapai 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA, ia memutuskan untuk memeluk agama Islam. Ia dibimbing oleh KH Abdullah bin Nuh al-Ghazali untuk mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat, dan namanya diganti menjadi Muhammad Syafii Antonio.
Keputusan yang diambilnya untuk menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW ternyata mendapat tantangan dari pihak keluarga. Ia dikucilkan dan diusir dari rumah, jika pulang, pintu rumahnya selalu tertutup dan terkunci. Bahkan pada waktu shalat, kain sarungnya sering diludahi. Perlakuan keluarga terhadap dirinya tidak dihadapinya dengan kemarahan, tapi dengan kesabaran dan perilaku yang santun. Ini sudah menjadi konsekuensi dari keputusan yang diambilnya.  Perlahan tetapi pasti, perlakuan dan sikap yang diteladaninya dari Nabi Muhammad SAW ini membuahkan hasil terhadap mereka. Tak lama kemudian mamanya menyusul jejaknya menjadi pemeluk Agama Islam.
Setelah mengikrarkan diri, ia terus mempelajari Islam, mulai dari membaca buku, diskusi, dan sebagainya. Ia juga mempelajari bahasa Arab di Pesantren an-Nidzom, Sukabumi, dibawah pimpinan K.H.Abdullah Muchtar. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan ke ITB dan IKIP, tapi kemudian pindah ke IAIN Syarif Hidayatullah. Itupun tidak lama, kemudian ia melanjutkan sekolah ke University of Yourdan (Yordania). Selesai studi S1, ia melanjutkan program S2 di International Islamic University (IIU) di Malaysia, khusus mempelajari ekonomi Islam.
Selesai studi, ia bekerja dan mengajar pada beberapa universitas. Segala aktivitas sengaja ia arahkan pada bidang agama. Untuk membantu saudara-saudara muslim dari etnis Tionghoa, ia aktif pada Yayasan Haji Karim Oei. Di yayasan inilah para mualaf mendapat informasi dan pembinaan. Mulai dari bimbingan shalat, membaca Al-Qur’an, diskusi, ceramah, dan kajian Islam, hingga informasi mengenai agama Islam.

Disunting dari : Ekonom Islam : Muhammad Syafii Antonio, MSc. (d/h Nio Cwan Chung)
Swaramuslim.net, Journey to Islam, 26 Jul 2005 - 12:10 am (1.086)

Willibrordus Surendra Broto Rendra (WS Rendra), Jalan Berliku Merasakan Nikmatnya Iman

Hampir tidak ada orang Indonesia yang tidak mengenal nama WS Rendra, seorang penyair dan sastrawan yang bisa dikatakan mempunyai jiwa ‘memberontak’ terhadap kemapanan. Terlahir dengan nama WILLIBRORDUS SURENDRA BROTO RENDRA, di Solo, tanggal 7 November 1935, pasti bisa ditebak bagaimana lingkungan keluarganya, yakni agama Katholik yang kuat. Ia menyelesaikan SMA nya di St Josef Solo, dilanjutkan pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta, ditambah lagi dengan American Academy of Dramatic Arts, New York, AS pada tahun 1967.
Ia memang telah memilih jalan hidup sebagai seniman. Sejak muda, ia telah malang-melintang di dunia teater. Bahkan, kemudian ia dikenal sebagai "dedengkot" Bengkel Teater sewaktu masih tinggal di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater inilah ia mendapatkan segalanya,: popularitas, istri, dan juga materi. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dalam kehidupannya sebagai seniman yang miskin pada waktu itu, ia dapat memboyong seorang putri Keraton Prabuningratan, BRA Sitoresmi Prabuningrat, yang kemudian menjadi istrinya yang kedua.
Melalui perkawinannya dengan putri keraton inilah, akhirnya WS Rendra menyatakan dirinya untuk memeluk agama Islam. Dalam rentang waktu perkawinan yang cukup panjang, yakni setelah memperoleh 4 orang anak, perkawinannya dengan ‘putri keraton’ ini akhirnya kandas, tetapi ia tetap keyakinannya sebagai seorang muslim, tidak kembali ke agama Katholik yang dipeluknya sebelum perkawinan keduanya.
Meskipun sudah menjadi orang Islam, tetapi WS Rendra masih suka meminum minuman keras. Mungkin karena kurang memahami ilmu-ilmu keislaman, seenaknya saja ia berkata bahwa tidak ada masalah dengan hal itu. Waktu itu ia selalu berkata enteng, sesuai dengan jiwa senimannya, “Kalau saya membaca bismillahirrahmanirrahim, maka minuman keras menjadi air biasa saja!!”
Setelah perkawinannya dengan istrinya yang ketiga, yakni Ken Zuraida, ia semakin rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan bukan suatu kebetulan juga, jika ia kemudian bergabung bersama Setiawan Djodi dan Iwan Falls dalam grup Swami dan Kantata Takwa. Pemahaman dan keyakinannya kepada Islam yang makin mendalam yang membuatnya mengambil keputusan itu.
Bagi Rendra, puisi bukan hanya sekadar ungkapan perasaan seorang seniman, tetapi lebih dari itu, puisi merupakan sikap perlawanannya kepada setiap bentuk kezaliman dan ketidak-adilan. Dan, itulah manifestasi dan sikapnya dalam ‘mengamalkan’ perintah amar ma'ruf nahi munkar seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an.
Sebagai penyair, ia berusaha konsisten dengan sikapnya. Baginya, menjadi penyair pada hakikatnya menjadi cermin hati nurani dan kemanusiaan. Penyair itu bukan buku yang dapat dibakar atau dilarang, bukan juga benteng yang bisa dihancur leburkan. Ia adalah hati nurani yang tidak dapat disamaratakan dengan tanah. Mereka memang dapat dikalahkan, tetapi tidak dapat dihancurkankan begitu saja hingga melebur dengan tanah.
Ketika akhirnya ia berkesempatan untuk naik haji, apa saja yang diminumnya masih terasa seperti minuman keras bermerek Chevas Regal. Minum di sini, minum di sana, rasanya seperti minuman keras, bahkan, air zamzam pun dirasanya seperti Chevas Regal, sampai ia bersendawa, seperti orang yang selesai meminum minuman keras. Ia sangat sedih mengalami keadaan itu. Dengan lirih, ia berdoa. "Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun, ampun, ampun, ya Allah….."
Rendra betul-betul merasa takut merasakan hal itu, jangan-jangan taubatnya tidak diterima Allah. Ia merasa malu, kecut, sekaligus juga marah, sehingga rasanya ia ingin berteriak keras, "Bagaimana, sih, ya Allah? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya, dong!"
Ia baru bisa merasakan segarnya air lagi setelah menyelesaikan rangkaian ibadah haji, yakni dalam penerbangan dari Jedah ke Amsterdam. Mungkin itu menjadi pertanda kalau hajinya diterima, yakni Haji Mabrur. Ia bersyukur dalam hati, “Alhamdulillah! Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman keras lagi. (Albaz - dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website).

Disunting dari : WS Rendra : Air zam-zam pun rasanya seperti minuman Chevas Regal
Swaramuslim.net, Journey to Islam, 10 Dec 2005 - 5:40 pm (1.107)