Khoe Hok Tiong alias Pudjihato,
seorang karyawan swasta di Jakarta ,
ia mempunyai nama baptis Fransiscus
Xaverius dan salah satu aktivis Gereja Persekutuan Doa Oikumene. Di tempat
kerjanya ia dipercaya sebagai Sales and Marketing Manager. Tetapi, sekitar
tahun 1989, karirnya banyak mengalami kemunduran. Sebagai manajer penjualan dan
pemasaran, ia dituntut untuk mengambil keputusan strategis, dan karena sesuatu
hal, terkadang keputusan yang diambilnya sering tidak tepat. Ternyata semua itu
karena faktor rumah tangga, ketenteraman rumah tangganya turut mempengaruhi
karir dan produktivitasnya.
Rumah tangga yang dibinanya sejak
tahun 1986 dan sudah membuahkan dua orang putra, mengalami goncangan. Sebenarnya
perkaranya kecil dan sepele, tetapi ternyata bisa menjadi besar, dan rumah
baginya seperti di neraka saja rasanya. Karena persoalan rumah tangga itu, ia tidak
konsentrasi dalam bekerja, dan produktivitasnya menurun. Sebagai kompensasi, ia
sering keluyuran sekadar mencari ketenangan batin. Gereja yang sekian lama
menjadi tempat yang paling damai ternyata tidak mampu menepis kegundahan hatinya.
Ia justru menjadi semakin jauh dari gereja. Karena sama-sama keras, akhirnya ia
tidak mampu lagi mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Meskipun dalam agama
Katolik bercerai itu diharamkan, dengan terpaksa dan berat hati ia menceraikan
istrinya, apalagi kedua anaknya masih kecil-kecil. Bulan Januari 1991 ia resmi
bercerai, dan kedua anaknya dibawa oleh istrinya ke Kutoarjo, Jawa Tengah. Sebagai
ayah, ia sangat mencintai anak-anaknya, tetapi apa mau dikata, mungkin ini
sudah menjadi suratan takdir, dan ia hanya bisa ‘menyerahkan’ nasib kedua anaknya
kepada Tuhan.
Antara bulan Januari sampai Juni
1991, ia merasa dirinya menjadi orang kafir, karena selama enam bulan itu ia tidak
pernah lagi menginjakkan kakinya ke gereja. Tetapi selama masa
"kekafiran" itu, banyak hal aneh yang dijumpainya. Seperti ketika
pada suatu sore pada bulan Mei 1991, ia berkunjung ke Toko Buku Wali Songo di
daerah kwitang, Jakarta Pusat. ia heran melihat begitu banyak orang keluar
masuk toko buku tersebut. Ketika ia terus masuk ke bagian dalamnya, ia melihat
banyak orang yang membersihkan diri di kran air. Saat itu ia tidak tahu kalau
orang-orang tersebut sedang berwudhu untuk menunaikan shalat maghrib. Tidak
lama kemudian terdengar seruan keras (suara azan) dari bagian atas. Meskipun ia
sudah pernah ke sana
dua tahun yang lalu, tetapi baru hari itu ia tahu kalau di toko buku itu ada
masjidnya.
Sesaat dalam kebimbangan, mungkin
didorong oleh rasa keingin-tahuannya, ia memutuskan untuk bergabung dengan
orang-orang tersebut. Ia ikut ‘meniru’ berwudhu, setelah memperhatikan beberapa
orang mengambil wudhu. Setelah itu, iapun ikut shalat magrib berjamaah. Sampai
sejauh itu, tidak satu pun di antara jamaah yang mengetahui bahwa ada seorang
non muslim yang ikut shalat berjamaah bersama mereka. Peristiwa yang terjadi
tanpa rencana dan begitu spontan itu, ternyata membuat kesan yang amat mendalam
pada jiwanya. Ia baru memahami betapa luhurnya ajaran Islam itu. "Untuk
menghadap Tuhannya, orang Islam harus benar-benar dalam keadaan bersih," Begitu
kata hatinya ketika merenungkan peristiwa itu di malam harinya.
Beberapa hari berikutnya, pandangan
matanya seperti ada yang mengarahkan. Selama beberapa hari, secara kebetulan, ia
selalu saja menjumpai masjid di mana pada saat itu bertepatan dengan kumpulan
orang yang sedang berwudhu. Semua yang dilihatnya itu terekam jelas di otaknya
dan pada malam harinya selalu menjadi bahan renungannya. Pada suatu hari ia melihat
seseorang memakai kopiah hitam. Sebenarnya itu hal yang biasa dan telah sering
dialaminya, tetapi, entah mengapa, pada hari itu ia begitu terpesona. Ia
bergumam, "Alangkah agung dan wibawanya orang itu. Aku heran, mengapa
tidak semua orang Islam berkopiah. Alangkah baiknya kalau semua orang Islam
memakai kopiah, biar tampak agung dan berkharisma!!”
Beberapa hari kemudian ia kembali
menjumpai hal yang sama, akhirnya ia benar-benar tertarik dengan kopiah hitam.
Singkatnya, ketika singgah ke sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta , ia
membeli kopiah hitam dan langsung memakainya. Orang-orang di pusat perbelanjaan
itu tampak heran, ada seorang bertampang Tionghoa, dengan penampilan khas
seorang eksekutif muda dan berdasi, tetapi memakai kopiah. Dilihat seperti itu,
tentu saja membuatnya salah tingkah. Sejak itu ia selalu berkopiah, kecuali di
rumah dan di kantor, karena masih merasa malu.
Tentang kopiah ini, ada satu
peristiwa yang menarik. Ketika ia singgah di pusat perbelanjaan di Jalan Gajah Mada , ia
berpapasan dengan seorang gadis cantik. Sebagai manusia normal, timbul naluri
kelelakiannya untuk menggoda gadis itu. Apalagi ia seorang duda yang kesepian,
tentulah amat wajar. Tetapi, ketika ia ingin menghampiri sang gadis, secara
refleks tangannya bergerak menyentuh kopiah yang sedang dipakainya, dan spontan
batinnya berkata, "Aku kan
muslim."
Niat menggoda sang gadis batal, tetapi
yang membuatnya kaget bercampur heran, mengapa hatinya dapat berkata "Aku
muslim"? Padahal pada saat itu ia belum lagi bersyahadat. Kejadian yang
seperti itu berulang dua kali, di tempat yang berbeda, dan malam harinya ia
tidak dapat tidur. Ia heran memikirkan suara hatinya yang menyatakan dirinya
seorang muslim, padahal ia belum menjadi seorang muslim. Tetapi ia bersyukur, dengan
kopiah itu jiwanya seperti punya kendali, jalannya seperti terbimbing ke satu
arah yang pasti.
Pada suatu senja menjelang isya,
ketika ia pulang ke rumah di daerah Jatinegara, kebetulan ia melewati sebuah
masjid. Entah dorongan dari mana, tiba-tiba kakinya melangkah masuk ke halaman
masjid. Dan ia kembali ikut berwudhu dan kemudian shalat bersama jamaah masjid
itu. Malam harinya ia kembali merenung tentang keanehan-keanehan yang dialaminya.
Tetapi, kali ini keinginannya hanya satu, ingin masuk Islam.
Setelah melewati proses berpikir
yang cukup panjang akhirnya ia memutuskan untuk berkonsultasi ke sekretariat PITI
(Pembina Iman Tauhid Islam) di Masjid Istiqlal, Jakarta . Setelah mendapat informasi, tekadnya
tambah mantap. Ada
suatu keanehan yang terjadi setelah ia pulang dari Masjid Istiqlal. Ketika tiba
waktu magrib, ia mendengar alunan azan yang amat merdu. Setelah azan selesai,
telinganya seperti mendengar bisikan, "Sembahyanglah kamu."
Ketika saya menoleh ke kiri dan
kekanan, tidak ada seorangpun di sekitarnya. Ia tidak tahu dari mana datangnya suara
gaib itu. Kejadian seperti itu berlangsung hingga tiga kali, pada waktu dan
tempat yang berbeda. Singkat cerita, pada hari Rabu, 24 Juli 1991, pukul 10.00
WIB, bertempat di sekretariat PITI di Masjid Istiqlal Jakarta, ia mengucapkan
ikrar dua kalimat syahadat.
Setelah resmi menjadi seorang
muslim, ia memutuskan untuk mendalami Islam di Pondok Pesantren Gentur,
Sukabumi, Jawa Barat. Oleh Pak Kiai, namanya diganti menjadi Abdul Rasyid.
Selain mempelajari Al-Quran, ia juga giat berdzikir. Ia berkata, "Sekarang
hati saya benar-benar plong, tanpa beban. Alhamdulillah, saya telah menemukan
kebahagiaan yang sejati!!”[Albaz]
Disunting dari : F.X. Khoe Hok Tiong : Tertarik Kopiah Hitam
Swaramuslim.net, Journey to Islam, Redaksi 01 Nov 2003 - 11:10 pm (1.007)