Rabu, 26 November 2014

F.X. Khoe Hok Tiong, Hidayah Lewat Pesona Kopiah Hitam

Khoe Hok Tiong alias Pudjihato, seorang karyawan swasta di Jakarta, ia mempunyai nama baptis Fransiscus Xaverius dan salah satu aktivis Gereja Persekutuan Doa Oikumene. Di tempat kerjanya ia dipercaya sebagai Sales and Marketing Manager. Tetapi, sekitar tahun 1989, karirnya banyak mengalami kemunduran. Sebagai manajer penjualan dan pemasaran, ia dituntut untuk mengambil keputusan strategis, dan karena sesuatu hal, terkadang keputusan yang diambilnya sering tidak tepat. Ternyata semua itu karena faktor rumah tangga, ketenteraman rumah tangganya turut mempengaruhi karir dan produktivitasnya.
Rumah tangga yang dibinanya sejak tahun 1986 dan sudah membuahkan dua orang putra, mengalami goncangan. Sebenarnya perkaranya kecil dan sepele, tetapi ternyata bisa menjadi besar, dan rumah baginya seperti di neraka saja rasanya. Karena persoalan rumah tangga itu, ia tidak konsentrasi dalam bekerja, dan produktivitasnya menurun. Sebagai kompensasi, ia sering keluyuran sekadar mencari ketenangan batin. Gereja yang sekian lama menjadi tempat yang paling damai ternyata tidak mampu menepis kegundahan hatinya. Ia justru menjadi semakin jauh dari gereja. Karena sama-sama keras, akhirnya ia tidak mampu lagi mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Meskipun dalam agama Katolik bercerai itu diharamkan, dengan terpaksa dan berat hati ia menceraikan istrinya, apalagi kedua anaknya masih kecil-kecil. Bulan Januari 1991 ia resmi bercerai, dan kedua anaknya dibawa oleh istrinya ke Kutoarjo, Jawa Tengah. Sebagai ayah, ia sangat mencintai anak-anaknya, tetapi apa mau dikata, mungkin ini sudah menjadi suratan takdir, dan ia hanya bisa ‘menyerahkan’ nasib kedua anaknya kepada Tuhan.
Antara bulan Januari sampai Juni 1991, ia merasa dirinya menjadi orang kafir, karena selama enam bulan itu ia tidak pernah lagi menginjakkan kakinya ke gereja. Tetapi selama masa "kekafiran" itu, banyak hal aneh yang dijumpainya. Seperti ketika pada suatu sore pada bulan Mei 1991, ia berkunjung ke Toko Buku Wali Songo di daerah kwitang, Jakarta Pusat. ia heran melihat begitu banyak orang keluar masuk toko buku tersebut. Ketika ia terus masuk ke bagian dalamnya, ia melihat banyak orang yang membersihkan diri di kran air. Saat itu ia tidak tahu kalau orang-orang tersebut sedang berwudhu untuk menunaikan shalat maghrib. Tidak lama kemudian terdengar seruan keras (suara azan) dari bagian atas. Meskipun ia sudah pernah ke sana dua tahun yang lalu, tetapi baru hari itu ia tahu kalau di toko buku itu ada masjidnya.
Sesaat dalam kebimbangan, mungkin didorong oleh rasa keingin-tahuannya, ia memutuskan untuk bergabung dengan orang-orang tersebut. Ia ikut ‘meniru’ berwudhu, setelah memperhatikan beberapa orang mengambil wudhu. Setelah itu, iapun ikut shalat magrib berjamaah. Sampai sejauh itu, tidak satu pun di antara jamaah yang mengetahui bahwa ada seorang non muslim yang ikut shalat berjamaah bersama mereka. Peristiwa yang terjadi tanpa rencana dan begitu spontan itu, ternyata membuat kesan yang amat mendalam pada jiwanya. Ia baru memahami betapa luhurnya ajaran Islam itu. "Untuk menghadap Tuhannya, orang Islam harus benar-benar dalam keadaan bersih," Begitu kata hatinya ketika merenungkan peristiwa itu di malam harinya.
Beberapa hari berikutnya, pandangan matanya seperti ada yang mengarahkan. Selama beberapa hari, secara kebetulan, ia selalu saja menjumpai masjid di mana pada saat itu bertepatan dengan kumpulan orang yang sedang berwudhu. Semua yang dilihatnya itu terekam jelas di otaknya dan pada malam harinya selalu menjadi bahan renungannya. Pada suatu hari ia melihat seseorang memakai kopiah hitam. Sebenarnya itu hal yang biasa dan telah sering dialaminya, tetapi, entah mengapa, pada hari itu ia begitu terpesona. Ia bergumam, "Alangkah agung dan wibawanya orang itu. Aku heran, mengapa tidak semua orang Islam berkopiah. Alangkah baiknya kalau semua orang Islam memakai kopiah, biar tampak agung dan berkharisma!!”
Beberapa hari kemudian ia kembali menjumpai hal yang sama, akhirnya ia benar-benar tertarik dengan kopiah hitam. Singkatnya, ketika singgah ke sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, ia membeli kopiah hitam dan langsung memakainya. Orang-orang di pusat perbelanjaan itu tampak heran, ada seorang bertampang Tionghoa, dengan penampilan khas seorang eksekutif muda dan berdasi, tetapi memakai kopiah. Dilihat seperti itu, tentu saja membuatnya salah tingkah. Sejak itu ia selalu berkopiah, kecuali di rumah dan di kantor, karena masih merasa malu.
Tentang kopiah ini, ada satu peristiwa yang menarik. Ketika ia singgah di pusat perbelanjaan di Jalan Gajah Mada, ia berpapasan dengan seorang gadis cantik. Sebagai manusia normal, timbul naluri kelelakiannya untuk menggoda gadis itu. Apalagi ia seorang duda yang kesepian, tentulah amat wajar. Tetapi, ketika ia ingin menghampiri sang gadis, secara refleks tangannya bergerak menyentuh kopiah yang sedang dipakainya, dan spontan batinnya berkata, "Aku kan muslim."
Niat menggoda sang gadis batal, tetapi yang membuatnya kaget bercampur heran, mengapa hatinya dapat berkata "Aku muslim"? Padahal pada saat itu ia belum lagi bersyahadat. Kejadian yang seperti itu berulang dua kali, di tempat yang berbeda, dan malam harinya ia tidak dapat tidur. Ia heran memikirkan suara hatinya yang menyatakan dirinya seorang muslim, padahal ia belum menjadi seorang muslim. Tetapi ia bersyukur, dengan kopiah itu jiwanya seperti punya kendali, jalannya seperti terbimbing ke satu arah yang pasti.
Pada suatu senja menjelang isya, ketika ia pulang ke rumah di daerah Jatinegara, kebetulan ia melewati sebuah masjid. Entah dorongan dari mana, tiba-tiba kakinya melangkah masuk ke halaman masjid. Dan ia kembali ikut berwudhu dan kemudian shalat bersama jamaah masjid itu. Malam harinya ia kembali merenung tentang keanehan-keanehan yang dialaminya. Tetapi, kali ini keinginannya hanya satu, ingin masuk Islam.
Setelah melewati proses berpikir yang cukup panjang akhirnya ia memutuskan untuk berkonsultasi ke sekretariat PITI (Pembina Iman Tauhid Islam) di Masjid Istiqlal, Jakarta. Setelah mendapat informasi, tekadnya tambah mantap. Ada suatu keanehan yang terjadi setelah ia pulang dari Masjid Istiqlal. Ketika tiba waktu magrib, ia mendengar alunan azan yang amat merdu. Setelah azan selesai, telinganya seperti mendengar bisikan, "Sembahyanglah kamu."
Ketika saya menoleh ke kiri dan kekanan, tidak ada seorangpun di sekitarnya. Ia tidak tahu dari mana datangnya suara gaib itu. Kejadian seperti itu berlangsung hingga tiga kali, pada waktu dan tempat yang berbeda. Singkat cerita, pada hari Rabu, 24 Juli 1991, pukul 10.00 WIB, bertempat di sekretariat PITI di Masjid Istiqlal Jakarta, ia mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat.
Setelah resmi menjadi seorang muslim, ia memutuskan untuk mendalami Islam di Pondok Pesantren Gentur, Sukabumi, Jawa Barat. Oleh Pak Kiai, namanya diganti menjadi Abdul Rasyid. Selain mempelajari Al-Quran, ia juga giat berdzikir. Ia berkata, "Sekarang hati saya benar-benar plong, tanpa beban. Alhamdulillah, saya telah menemukan kebahagiaan yang sejati!!”[Albaz]

Disunting dari : F.X. Khoe Hok Tiong : Tertarik Kopiah Hitam
Swaramuslim.net, Journey to Islam,  Redaksi 01 Nov 2003 - 11:10 pm  (1.007)

Hermanus Paulus Poli, Menjemput Hidayah di Penjara

Hermanus Paulus Poli, dari namanya jelas bahwa ia seorang pemeluk Nashrani, tepatnya Kristen Protestan. Boleh dibilang keluarganya adalah penganut Kristen yang taat saat itu. Ayahnya seorang pensiunan sebuah BUMN yang bergerak di bidang perbankan, dan ibunya seorang arkeolog. Setelah menyelesaikan S1-nya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), jurusan ilmu politik di salah satu universitas negeri di Indonesia, ia berangkat ke Gold Coast University, Australia untuk menyelesaikan S2. Namun baru saja duduk di semester tiga di tahun pertama, kuliahnya terganggu karena ulahnya sendiri. Memang, sejak kuliah ia sudah mencandu narkoba. Ia tinggal bersama tiga orang kawan di apartemennya, yang semuanya pecandu narkoba.
Di kampus, teman-temannya ada juga yang beragama Islam, dan ia tidak pilih-pilih dalam bergaul, termasuk rekan-rekan muslimnya itu. Ia seringkali terlibat diskusi seputar persoalan agama dengan mereka, khususnya membicarakan konsep ketuhanan agama masing-masing. Semula ia tidak menyukai topik diskusi ini, karena sebagai seorang Kristiani, ia merasa minder dan rendah diri. Dalam hati ia mengakui, betapa jelas konsep ketuhanan dalam Islam, yaitu Allah Yang Maha Esa. Sangat jelas bahwa Tuhan itu sebenarnya memang Maha Esa dan Maha Besar.
Setelah berlangsungnya diskusi-diskusi seperti itu, sedikit atau banyak, timbul keraguan dalam hatinya tentang konsep ketuhanan Kristiani yang bisa dikatakan membingungkan. Terkadang penganut Kristiani harus meyakini Yesus Kristus sebagai Tuhan. Namun di sisi lain, Injil sendiri memuat ayat kalau Yesus sendiri menyangkal kalau dirinya adalah Tuhan. Dengan terang-terangan Yesus menyuruh untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Satu (ternuat dalam Yesaya 17: 3). Makin lama keraguannya terhadap ajaran Kristiani, khususnya ketuhanan, tak dapat dielakkan, baginya konsep Trinitas dalam Kristen sangat kacau.
Pada suatu kesempatan, Hermanus mencoba mengambil mushaf al-Qur’an terjemahan milik salah seorang temannya. Semula ia ingin mempelajari isi al-Qur’an tersebut demi mencari kelemahan-kelemahan agama Islam, sehingga ia mempunyai ‘bahan’ untuk berdiskusi dengan mereka. Namun, semakin dalam ia merenungi ayat-ayat al-Qur’an, hatinya semakin takjub terhadap Islam. Betapa jelas konsep Ketuhanan yang dipaparkan Islam melalui surat al-Ikhlash, betapa gamblangnya dialog Allah dan Yesus (Nabi Isa AS) yang diabadikan dalam surat al-Maidah ayat 116. Dan banyak lagi ayat-ayat lainnya.
Terlepas dari ‘pengaruh’ Islam dalam dirinya, akibat pergaulan dengan teman sekamar (se-apartemen) yang pecandu narkoba, kondisinya di Autralia kian hari kian memburuk. Kecanduannya terhadap barang-barang terlarang itu makin sulit dilepaskan, dan kuliahnyapun jadi berantakan. Karena dipikirnya lebih banyak membuang waktu percuma, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta.
Di Jakarta, Hermanus bersama beberapa temannya mendirikan usaha di bidang entertaimen dan lebih mengutamakan bidang promosi (event organizer). Usahanya berkembang pesat, tapi ternyata kecanduannya terhadap putaw sulit untuk dilepaskan. Sebenarnya seluruh keluarganya sudah tahu tentang kebiasaan buruknya ini, tetapi mereka tidak mempermasalahkan. Mereka telah maklum, apalagi ia adalah anak bungsu yang keras kepala. Berkali-kali ia dibawa berobat ke dokter spesialis dan pusat rehabilitasi mental untuk menghilangkan penyakit kecanduan ini, namun hasilnya selalu nihil. Dua atau tiga bulan kemudian selalu saja ia kembali mencandu.
Terlepas dari penyakit kecanduannya, dan juga terlepas dari keraguannya terhadap ajaran Kristen, khususnya masalah Ketuhanan, setiap hari Minggu ia selalu pergi ke gereja bersama keluarganya. Tetapi sayangnya, dalam suasana ‘ibadah’ di gereja, ia tidak menemukan sesuatu yang dapat menyadarkannya dari ‘kebohongan’ gereja. Ia benar-benar merasa hampa, apalagi seorang pendeta yang pernah diminta penjelasan tentang berbagai keraguannya itu tak dapat memberikan jawaban yang dapat memuaskannya.
Suatu hari di tanggal 12 September 2002, sepulang dari membeli putaw, Hermanus tertangkap oleh polisi, dan digiring ke Polres Menteng, Jakarta Pusat. Ia diinterogasi dan akhirnya ditahan. Perasaannya saat itu biasa saja, bahkan tidak ada kekhawatiran sama sekali, karena ia yakin bahwa keluarganya pasti bisa membebaskannya. Mereka memang punya relasi yang luas, baik di kepolisian ataupun di birokrasi. Tetapi semuanya di luar dugaan, usaha keras keluarganya untuk mengeluarkannya dari penjara dan juga dari jeratan hukum ternyata tidak berhasil. Ia pun mulai ketakutan di dalam penjara. Setelah hari ketiga sejak penangkapan, ia ditempatkan dalam sel yang dipenuhi para tahanan. Gelisah, takut, dan marah, semuanya bercampur dalam dada, tetapi dengan uang, ia bisa mengendalikan para preman di dalam penjara.
Saat hari Minggu tiba ada pendeta yang datang untuk kebaktian bagi tahanan yang beragama Kristen, iapun turut serta dalam acara tersebut. Pada malam harinya ia tergerak untuk membaca buku “Malang Nian Orang yang Tidak Shalat”, milik salah seorang napi yang beragama Islam. Anehnya, setelah membaca buku tersebut ia merasakan sesuatu yang lain. Tergerak dalam lubuk hatinya yang terdalam untuk melakukan shalat, walau ia tidak tahu bagaimana caranya. Keesokan harinya ia membaca di dinding sel yang penuh dengan coretan tahanan sebelumnya, “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan apabila kamu berdoa sebanyak kamu bercemas, maka seketika kecemasan itu akan hilang.”
Tanpa pikir panjang, semua buku-buku tentang Islam yang ada di kamar itu dipelajarinya, termasuk tata cara shalat. Ia dapat memahami bagaimana cara shalat dan berwudhu dari sel tahanan lain. Tentu saja para preman yang beragama Kristen jadi marah pada dirinya, tetapi ia tidak mempedulikan mereka. Pikirnya, kalau mau ribut, silakan, ia siap menghadapi mereka. Sejak saat itu ia jadi berani melaksanakan shalat walau belum mengucapkan ‘kesaksian’ dua kalimat syahadat. Ia yakin, Allah SWT akan menerima shalatnya, karena merasa telah ber-syahadat di hadapan Allah SWT. Setelah dua minggu ditahan, masuklah sejumlah tahanan dari Front Pembela Islam (FPI), dan dari merekalah ia belajar lebih banyak tentang Islam, khususnya dari Ustadz Ja’far Umar Shiddiq.
Seminggu kemudian Hermanus dikirim ke rutan Salemba. Ia tetap shalat dan berdoa semoga di sana ia tidak disiksa oleh sesama tahanan, dan bertemu dengan orang-orang yang dapat membimbingnya. Dan syukur Alhamdulillah harapan menjadi kenyataan, ia ditempatkan di Blok C, dan di sana bertemu dengan dua orang yang berakhlak baik. Setiap hari ia mengkaji kitab al-Qur’an terjemahan dan belajar membaca al-Qur’an. Banyak sekali buku-buku yang dijadikannya referensi untuk mendalami pengetahuan Islam, antara lain: Menuju Jalan Ke Surga, Di Balik Rahasia Surat at-Taubah, dan lain sebagainya.
Selama ditahan, setiap hari keluarganya datang menjenguk. Mereka tetap memberikan dorongan dan dukungan kepadanya, serta memperlihatkan perhatian yang serius terhadap masalah yang dihadapinya. Akhirnya diputuskan hukumannya selama satu tahun enam bulan, jauh lebih ringan dari tuntutan sebelumnya, yakni empat tahun penjara.
Ketika ia merasakan keimanannya kepada Islam makin kuat, ia bermaksud mengutarakan kepada keluarganya tentang identitas dirinya sebagai seorang Muslim. Tetapi begitu mengetahui, mereka sangat marah, ia dimaki-maki, dikatakan telah terpengaruh setan, bodoh, tolol dan diperintahkan harus kembali ke agama Kristen. Mereka mengancam tidak akan membesuk dan tidak akan menyuplai apapun. Padahal ‘biaya hidup’ di dalam penjara sangatlah besar, untuk makan, bayaran wajib pintu, uang kunci mingguan, dan lain-lain sebagainya. Apabila tidak memenuhi semua itu, ia akan menemui masalah besar dengan para preman. Ia menjadi bimbang lagi, dan dalam kegalauannya, ia kembali terjebak memakai putaw. Tetapi bagi keluarganya, hal itu bukanlah masalah besar, dan juga tidak masalah harus tetap menyuplai kebutuhannya di penjara asal ia mau kembali ke gereja dan menyatakan dirinya sebagai seorang Kristiani.
Ternyata keimanannya tidak begitu saja tergoyahkan, tetapi karena terlanjur memakai putauw dalam kebimbangannya itu, ia terpaksa ‘berhadapan’ dengan para bandar putaw di penjara. Mereka memaksanya untuk membeli putaw mereka, dan sempat terjebak lagi sebagai pecandu. Tapi itu hanya berlangsung selama dua minggu, dan Allah menyadarkan dirinya. Ia dengan tegas menolak ‘memakai’ lagi walau mereka mengancamnya. Kemudian ia berpikir untuk ‘hijrah’ dari penjara tersebut ke penjara lainnya, agar ibadahnya lebih tenang dan tidak terganggu dengan ulah para preman dan bandar putaw. Untuk itu, terpaksa ia menyogok bagian pendaftaran untuk memasukkan namanya dalam daftar nama-nama napi yang akan dipindahkan ke LP Tangerang.
Dua hari kemudian namanya dipanggil untuk dikirim ke Lapas kelas I Tangerang. Setelah tiba di Tangerang, ia menelepon keluarganya untuk menginformasikan kepindahannya ke penjara Tangerang. Tetapi saat menelepon itu ia juga menegaskan kepada mereka bahwa ia akan tetap menjadi seorang Muslim, yang meyakini bahwa Allah itu Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan Muhammad SAW adalah Rasulullah (Utusan Allah). Keesokan harinya, mereka datang ‘membesuk’, tetapi dengan tujuan yang lain. Begitu bertemu, ia langsung ditempeleng dan diludahi, bahkan hpnya dirampas. Sejak itu, mereka benar-benar tidak mau menyuplai apapun yang menjadi kebutuhannya di penjara. Bahkan mereka mengharapkan agar ia mati saja di dalam penjara agar tidak membuat malu keluarga.
Memang, ketika keimanan telah begitu merasuk ke dalam jiwa, halangan apapun memang tidak akan bisa menggoyahkannya. Tekadnya sudah bulat, ia akan tetap pada komitmennya berada di jalan Allah. Di LP Tangerang kehidupannya sangat begitu sulit tanpa bantuan keluarganya, ia bagai anak hilang. Terkadang ia bingung, bagaimana harus mandi tanpa sabun, pasta gigi dan shampo. Makannyapun apa adanya, nasi putih dan sayur, yang tidak layak dimakan manusia normal. Minumannya pun air mentah tanpa dimasak sama sekali. Ia berusaha meminimalisasi penderitaannya dengan bekerja sebagai tukang cuci pakaian orang. Tapi tidak setiap hari ia mendapat order itu. Sekali mencuci ia dibayar Rp 200 sampai Rp 3000, dan itu hanya cukup untuk makan sehari saja. Ia ditawari bekerja pada beberapa orang Nigeria dan Tionghoa, namun konsekuensinya ia harus siap selama 10-12 jam di kamar mereka dengan mengerjakan apa pun yang mereka inginkan. Memang upahnya cukup lumayan, namun waktunya untuk Allah akan hilang. Karena itulah ia memutuskan untuk menolak tawaran kerja tersebut, padahal mereka sangat senang, karena ia bisa berbahasa Inggris dan Perancis.
Hermanus sadar, sebagai seorang muslim, ia tidak boleh menggantungkan hidupnya kepada orang kafir. Ia yakin bahwa rezeki sudah ditentukan, karena itu ibadah kepada Allah menjadi prioritas utamanya. Shalat, mengaji dan memperdalam agama menjadi santapannya setiap hari. Walau begitu, ia sadar bahwa cobaan memang tidak berhenti sampai di situ. Tekanan-tekanan mental dari orang-orang non-Muslim, khususnya dari etnis tertentu terhadap dirinya berlanjut di penjara ini. Beberapa petugas sangat sinis kepadanya karena berbeda agama denganya. Celakanya lagi, banyak sekali orang muslim yang tidak taat di penjara ini. Perintah berjamaah hanya diterapkan dalam shalat, tetapi tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, banyak sekali orang muslim yang murtad karena tidak tahan lapar dan harus ke gereja (dalam LP) demi untuk mendapatkan sekotak makan, sabun, pasta gigi, sampho dan obat-obatan.
Seiring berjalannya waktu, gerakan dakwah mulai muncul di dalam LP. Beberapa napi mencoba membuat kegiatan-kegiatan untuk memakmurkan masjid dan kegiatan sosial bernafaskan Islam, seperti membuat dapur umat dan merayakan hari-hari besar Islam. Dalam kesempatan ini ia bergabung dengan para aktivis dakwah, yakni membuat drugs conselling (bimbingan untuk menghindari narkoba, red) untuk para pecandu narkoba. Ceramah interaktif tentang narkoba juga diberikan oleh Prof Dr Dadang Hawari. Dan akhirnya di LP ini berdiri Pondok Pesantren At-Tawwabin yang santrinya berasal dari kalangan narapidana. Masjid Baitus Salam yang berada dalam LP juga penuh sesak dengan para jamaah. Setiap datang waktu shalat, adzan selalu berkumandang. Pembangunan Masjid pun diperluas hingga menjadi dua ruangan dan dapat menampung 600-700 jamaah.
Hermanus dan teman-temannya memfokuskan diri pada upaya memotivasi saudara-saudaranya semuslim untuk memantapkan akidah dan meningkatkan akhlak, dan khususnya untuk menghadang upaya pemurtadan kaum Salibis yang dilakukan dengan iming-iming materi. Bila bulan Ramadhan tiba, hampir semua napi muslim berbahagia karena banyak keluarga mereka yang membesuk. Mereka bisa bermaaf-maafan dan bersenda gurau dengan keluarga. Jika melihat itu, tanpa sadar air matanya menetes mengingat tidak ada lagi keluarganya yang datang dengan senyuman, nasihat dan dukungan seperti yang dulu mereka lakukan kepadanya. Itu hanya karena ia berpegang teguh pada keislamannya.
Sesekali pada malam hari yang hening, ia mencoba mengirim SMS kepada keluarganya seraya mendakwahi mereka agar berkenan mempelajari Islam yang mereka benci, khususnya surat al-Ikhlash dan al-Maidah ayat 116. Ia sangat berharap, Allah akan membukakan pintu hidayah kepada mereka. Tetapi lagi-lagi balasan yang diterimanya adalah caci maki. Walau demikian, ia selalu bermohon semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka. Ia sangat yakin dengan firman Allah yang menyatakan, “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan minta ampunlah bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan,” (QS Muhammad: 19). Dan berharap, suatu saat nanti Allah akan menurunkan hidayah pada keluarganya untuk bisa menerima Islam sebagai agamanya.

Disunting dari : Hermanus Paulus Poli Menjemput Hidayah di Penjara
Swaramuslim.net, Journey to Islam,  22 Nov 2003 - 03:24 pm  (1.018)

Ki Manteb Sudharsono, Keajaiban Mencium Hajar Aswad

Bagi orang Indonesia, khususnya yang mempunyai minat pada kebudayaan Jawa, tentulah nama Ki Manteb Sudharsono tidak asing lagi. Ia identik dengan penampilannya yang mantap dalam memainkan wayang kulit, dan termasuk dalang yang digandrungi dan sangat laris, jadwal pentasnya sangat padat. Walau bisa dikatakan ‘mewarisi’ pekerjaan wali songo, khususnya Sunan Kalijaga yang berdakwah menyebarkan Islam dengan pendekatan budaya Jawa, ternyata pada awalnya Ki Manteb Sudarsono bukanlah seorang muslim, tetapi beragama Budha. Basis cerita wayang memang berasal dari India dengan latar belakang agama Hindu, tetapi atas ‘kreativitas’ wali songo, wayang kulit dengan ‘penampilannya’ yang khas menjadi ‘identik’ dengan Islam, termasuk munculnya kisah-kisah ‘kembangan’ (variasi) seperti Jamus Kalimosodo, tokoh punakawan, Dewaruci dll.
Walau bukan seorang muslim, tetapi lingkungan pekerjaannya Ki Manteb kebanyakan beragama Islam, dari para niyaga (penabuh gamelan), sinden, dan lain-lainnya, termasuk juga istrinya. Ia mendapatkan dorongan untuk memeluk Islam dari Gatot Tetuki, putra keduanya dari istrinya yang kedua. Sebelumnya ia tidak mau memeluk Islam, karena menurutnya agama Islam itu berat, dan ia tidak mau ikut-ikutan saja.
Ketika usai menghitankan Gatot, putranya tersebut minta diberangkatkan umrah tetapi bersama-sama dengan dirinya, sang ayah. Hati Ki Manteb jadi tersentuh, dan ia menganggapnya sebagai panggilan Allah. Ia merasa seperti diingatkan dan dibangunkan dari tidur panjang yang selama ia membuainya. Langsung saja ajakan tersebut diterimanya, sekaligus ia mempersiapkan diri untuk memeluk Agama Islam. Bagaimana ia akan berangkat Umrah jika ia tidak menjadi seorang muslim dahulu??
Pada hari yang telah ditetapkan, Ki Manteb mengundang Kiai Ali Darokah (Ketua MUI Solo), H. Amir Ngruki, H. Alwi, dan kaum muslimin di sekitar tempat tinggalnya untuk menjadi saksi keislamannya. Setelah itu, sesuai dengan ajakan putranya, ia melaksanakan umrah pada September 1995. Pada tahun berikutnya, yakni di bulan April/Mei 1996, ia berkesempatan menunaikan ibadah haji. Banyak sekali manfaat yang diperolehnya dari pengalaman-pengalaman tersebut, dan kesemuanya itu menambahkan kedewasaan berpikir dan pengendalian dirinya.
Pada waktu beribadah haji terebut, Ki Manteb mengalami suatu kejadian sangat aneh. Usai melaksanakan rangkaian ibadah haji di Mekah dan bersiap ke Madinah, sesudah Thawaf Wada' ia ingin sekali mencium Hajar Aswad, tetapi mana mungkin? Ka’bah dan pelatarannya telah menjadi lautan manusia, hampir tidak mungkin mendekati Hajar Aswad. Tetapi tiba-tiba, entah dari mana datangnya, muncul seorang anak kecil berpakaian khas Arab ngawe-awe (mengajak sambil melambaikan tangan) kearahnya. Setelah Ki Manteb menghampiri, anak kecil itu berkata, "Ahlan...ahlan..." (selamat datang, selamat datang).
Seperti ada tarikan kuat yang ia tidak mampu membendungnya, Ki Manteb berjalan mengikutinya, yang berjalan merunduk karena banyak orang. Anak kecil itu seperti menunjukkan jalan, belok kanan dan kiri berkali-kali, sampai akhirnya tiba di depan Hajar Aswad. Ia dapat mencium Hajar Aswad sepuas-puasnya. Ia menangis penuh bahagia dan bersyukur sekali atas pertolongan anak kecil itu. Beberapa saat kemudian ia teringat pada anak itu, dan berniat memberikan uang 50 real yang ada di kantongnya. Tetapi begitu menengok kanan kiri, anak kecil itu sudah tidak ada lagi. Kalau lari tidak mungkin karena begitu padatnya. Dan tentang siapa dan ke mana perginya anak kecil itu tetap menjadi misteri dalam kehidupannya.
Setelah memeluk Islam dan beribadah haji, hubungan Ki Manteb dengan siapa pun tetap terjalin baik seperti sebelumnya. Demikian pula dengan para niyaga/pengrawit (penabuh gamelan) rombongan wayang kulit. Sebagian besar niyaga/pengrawit memang sudah beragama Islam, hanya tiga orang yang belum Islam. Dalam hal ini ia tidak ingin mempengaruhi atau memaksanya, dibiarkannya saja sesuai dengan keyakinan mereka. Menurutnya, dalam memeluk Islam tidak boleh ada pemaksaan.
Sebelum memeluk Islam, jika tidak mendalang seminggu saja, ia selalu merasa was-was, "Aku nek ra payu, piye?"
Maksudnya, “Kalau saya sudah tidak laku lagi, bagaimana?” Begitu perasaannya ketika itu. Tetapi setelah keislamannya, perasaan seperti itu sudah tidak ada lagi. Ia berusaha untuk taat menjalankan shalat. Hasilnya, ia lebih dapat mengendalikan diri dan selalu berpikir positif ke pada Allah. Fikirnya, “Kalau memang sudah tidak ada rezeki lagi buat saya, tentu sudah waktunya Allah memanggil saya. Mengapa pula harus bingung?
Intinya, pikirannya sudah sumeleh. Dan pelahan tapi pasti, semua keluarganya mengikuti jejaknya memeluk Islam.
Setelah memeluk Islam, ia merasakan keluarganya makin harmonis dan tenteram. Tidak suka bertengkar, dan tidak ada suasana saling mencurigai. Beberapa kali ia diminta mengisi pengajian oleh masyarakat, dan semampunya ia penuhi. Bukan dengan maksud menggurui, tetapi ia merasa itu sebagai kewajiban seorang muslim. Apalagi sebagai dalang wayang kulit, sedikit banyak ia mengetahui tentang filosofi cerita wayang, yang sebelumnya digunakan Wali Songo sebagai media dakwah. Dalam pengajian, seringkali ia menceritakan sejarah hidupnya yang dahulu tidak karu-karuan, mbejujak (rusak).
Dari pengajian yang disampaikannya, ada beberapa orang yang akhirnya mengikuti jejaknya, yaitu memeluk agama Islam. Ketika berlangsung pengajian, terkadang ada jamaah yang bertanya, apa kalau ceramah itu ia mendapatkan uang saku? Dengan jujur dijawabnya, “Tidak, kalau mau cari-cari uang, itu sudah saya dapatkan dari mendalang!!”
Setelah menjadi muslim, ia harus lebih banyak belajar mendalami Islam. Dalam hal ini, di rumahnya di Karang anyar, ia selalu mendatangkan mubaligh setiap bulannya, seperti Kiai Ali Darokah, H.Amir, H. Alwi dan yang lainnya, dan mengundang masyarakat di sekitarnya. Setelah pengajian selesai, ia meneruskannya dengan pentas wayang yang selalu disisipinya dengan pesan-pesan dakwah. Setelah Islamnya, ia terobsesi dengan Wali Songo yang menjadikan wayang kulit sebagai media dakwah. Kali ini ia ingin menjadi ‘pewaris’ Wali Songo, dan menjadikan pekerjaan yang telah ditekuninya selama bertahun-tahun sebagai media dakwah.

Disunting dari : Ki Manteb Sudharsono : Sudah Mantap dalam Islam
Swaramuslim.net, Journey to Islam,  01 Nov 2003 - 11:07 pm  (1.006)