Craig Owensby,
seorang lelaki kelahiran Chicago, Illinois AS pada tahun 1961, tumbuh dan
berkembang dari keluarga Kristen Ortodoks yang taat, bahkan ayahnya, Walter
Owensby seorang pendeta. Walau ia lulusan MBA dari University of Wisconsin,
Madison, pada tahun 1986, ditambah kemudian pendidikan kependetaan di Princeton
Theological Seminary, Princeton, NJ, 1991, dan meraih gelar Master of Theology
(Teologi Kristen tentunya), tetapi ketika percik hidayah Allah SWT menyapanya,
akhirnya ia memutuskan untuk memeluk Islam.
Menyabet gelar
MBA dan bekerja di sejumlah perusahaan prestisius di negerinya, Amerika
Serikat, serta menikmati kesenangan duniawi yang berlimpah, tak membuat Craig
Owensby bahagia. Bathinnya hampa. Dia butuh pencerahan rohani sebagai
pengimbang. Setelah bertahun-tahun merintis karir, Craig memutuskan belajar
Injil, teologi, dan keislaman di Princeton Theological Seminary, Princeton , NJ .
Beberapa tahun kemudian ia menjadi pendeta mengikuti jejak sang ayah yang
pendeta Katolik di sebuah gereja di New
York dengan 6.000 pengikut.
Meski sukses
sebagai pendeta, kebahagiaan dan ketenangan bathin yang ia dambakan belum juga
berpaling kepadanya. Craig justru kian resah dengan konsep ketuhanan Yesus yang
ia pelajari. Pengetahuan yang ia miliki membuatnya tak percaya bahwa Isa adalah
Tuhan, "Injil menjelaskan bahwa Isa adalah tuan, bukan Tuhan," begitu
kesimpulan yang diambilnya setelah mendalami Injil; selama bertahun-tahun.
Di tengah kerisauan
hatinya, pada suatu hari secara tak sengaja perhatiannya tertuju pada seorang
kawannya bernama Nashir, yang tergabung dalam kelompok sepakbola Pakistan .
Baginya, Nashir berbeda dengan anggota tim lainnya yang dinilai lebih pintar,
disiplin, dan baik. Bagi Craig, Nashir dianggap mencerminkan sosok Muslim yang
sebenarnya. Hal ini membuatnya tertarik dengan konsep Islam, yang kemudian
berlanjut dengan keputusannya berhenti menjadi pendeta, untuk bisa mempelajari
Islam secara lebih intensif. Kemudian ia terjun kembali ke bidang bisnis, di samping
terus mendalami Islam secara otodidak.
Percik-percik hidayah
Allah datang tatkala dia ditugaskan bekerja di Indonesia sekitar tahun 1997. Craig
tinggal di kawasan Muarabaru, Jakarta Utara. Di lingkungan tempat tinggalnya
yang baru, dia menemui banyak hal yang sangat menyentuh batin, khususnya
kemiskinan dan penderitaan hidup yang dialami masyarakat sekitarnya. Craig
tertarik dengan kehidupan anak-anak Muslim di wilayah itu. Menurutnya, walau
miskin, mereka hidup dengan penuh kesederhanaan dan tetap mampu tampil bersih
serta bahagia.
Sejenak dia
teringat pada masa kecilnya ketika masih tinggal bersama orang tuanya di
Meksiko dan Kolumbia. Ketika itu ia menyaksikan betapa anak-anak Katolik di sana hidup penuh
kekerasan, miskin, dan kotor. Tak ada cerminan ketenangan dan kedamaian dalam hidup
mereka. Craig merasakan kedua hal yang bertentangan itu memberinya inspirasi
untuk mengetahui dan mempelajari agama Islam lebih jauh.
Waktu demi waktu
berlalu, Craig sudah sangat akrab dengan istilah-istilah Islam pada tahun-tahun
terakhir, rasanya hanya tinggal ‘gong pamungkas’ yang membawanya untuk memeluk
Islam. Suatu ketika ia terbangun di saat subuh, sekitar pukul 04.30 WIB, dan
itu sangat tidak biasa baginya. Saat terbangun itu ia bergumam, "Sungguh
menakjubkan."
Ketika keluar
dari kamar, dia melihat salah satu dari anak asuhnya sedang melaksanakan salat
subuh dengan tenang dan khusyuknya. Craig tertegun. Sejenak dia memandangi anak
asuh itu, dan merasa amat tersentuh. Lagi-lagi ia bergumam, "Anak sekecil ini
kok bisa disiplin terhadap agamanya? Kenapa pula dia harus salat?”
Kemudian Craig mengambil
dan mempelajari dengan serius buku Karen Armstrong yang berjudul The Life of
Muhammad. Sebuah buku tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW yang sangat bagus dan
realistis, meski penulisnya bukan seorang muslim. Ia mempelajari dengan giat
makna salat dan juga tentang Islam yang lebih luas. Akhirnya dia memutuskan
pilihan dan jalan hidupnya, akan masuk Islam. "Saya mau mengucap kalimat
syahadat," ujarnya.
Ketika tekadnya
sudah sangat bulat, dia memutuskan untuk pergi ke sebuah pengajian di daerah
Kemang, tempat pengajian khusus para bule. Oleh salah satu pengasuh, yakni Ustad
Rickless, ia disuruh banyak membaca hadits dari buku hadits yang sangat besar.
Craig agak bingung; kenapa harus ada hadits? “Kenapa saya harus membacanya?
Bukankah Alquran pun sudah sempurna?” Begitu pikirnya.
Tetapi karena
sang ustad telah memerintahkan, ia memutuskan untuk membacanya, sampai akhirnya
ia dapat mengerti bahwa hadits itu memang penting. Craig sudah sampai pada ‘action’
sebagai muslim yang benar, yakni melakukan salat lima waktu, walaupun ia belum mengucapkan dua
kalimat syahadat. Ia pernah mengatakan kepada beberapa koleganya di Amerika pada
Desember 1998, bahwa ia akan memeluk Islam. Itu setelah beberapa kali
‘mondar-mandir’ ke Jakarta .
Proses pencarian
kebenaran Islam terus dilakukan, sampai pada suatu satu hari di bulan Mei 2001
ia mengikrarkan diri menjadi Muslim di Pengajian Rahmania, Kuningan, dengan
bimbingan Ustadz Rikza Abdullah. Ketika ditanyakan alasan keputusannya memeluk
Islam, ia berkata, "Saya ingin menjadi orang yang tahu kebenaran. Saya
bersedia menjadi Muslim karena ingin kebenaran. Bisa saja kebenaran itu
menyusahkan, tapi saya percaya dengan kebenaran itu."
Setelah memeluk
Islam, Craig ‘melengkapi’ namanya dengan identitasnya sebagai muslim tanpa
meninggalkan nama aslinya, Craig Abdurrohim Owensby. Setahun kemudian ia
menikahi seorang gadis Sunda Lilis Fitriyah.
Sejak
keislamannya itu, Craig makin yakin dengan ajaran Alquran bahwa manusia
dilahirkan suci dan menjadi khalifah di bumi. Ia berkata, "Saya sekarang
telah menjadi khalifah bagi Allah. Awalnya saya Islam hanya dengan membaca,
berpikir, dan berbicara, tapi belum mempraktekkan. Sekarang saya memutuskan
untuk menjalankan Islam secara serius."
Meski telah
serius memilih Islam sebagai keyakinannya, tetapi muallaf ini merasa masih
harus 'berjuang' menjadi Muslim yang sebenarnya. Pasalnya, ia tak biasa bangun
pagi. Kini ia harus melaksanakan shalat Subuh ketika biasanya di waktu sama
masih tertidur pulas. Namun, akhirnya ia merasa bersyukur mampu menaklukkan ego
dirinya. Baginya, dapat menjalankan shalat Subuh dengan baik merupakan tolok
ukur kemampuannya melaksanakan shalat wajib yang lain. "Pertama kali
shalat Subuh saya sangat puas dan senang. Setelah itu melaksanakan
shalat-shalat yang lain menjadi enteng."
Tidak hanya
sampai di situ, rupanya Craig belum merasa menjadi Muslim kaffah sebelum dapat
mendakwahkan Islam. Menurutnya ada dua fase yang ia jalani, yaitu menjadi
Muslim dan berdakwah. Kini ia sedang melakukan fase kedua itu sambil berbisnis,
yakni dengan melontarkan sebuah program layanan ‘Al-Qur’an Seluler”. Craig
yakin sarana dakwahnya ini bakal bermanfaat karena tak membeda-bedakan
seseorang. "Sebagai gerakan Qurani, program dakwah ini saya jadikan sarana
berkompetisi dengan evangelis (para misionaris dan pendakwah Kristen). Kita
harus mempunyai umat yang kuat imannya dan lebih baik dari umat
non-Muslim."
Disunting dari : Craig Abdurrohim : Islam
Jalan Hidupku
Swaramuslim.net, Journey to Islam, 25 Oct
2003 - 4:48 am (1.003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar