Selasa, 22 April 2014

Craig Abdurrohim Owensby, Dari Pendeta menjadi Pendakwah

Craig Owensby, seorang lelaki kelahiran Chicago, Illinois AS pada tahun 1961, tumbuh dan berkembang dari keluarga Kristen Ortodoks yang taat, bahkan ayahnya, Walter Owensby seorang pendeta. Walau ia lulusan MBA dari University of Wisconsin, Madison, pada tahun 1986, ditambah kemudian pendidikan kependetaan di Princeton Theological Seminary, Princeton, NJ, 1991, dan meraih gelar Master of Theology (Teologi Kristen tentunya), tetapi ketika percik hidayah Allah SWT menyapanya, akhirnya ia memutuskan untuk memeluk Islam.
Menyabet gelar MBA dan bekerja di sejumlah perusahaan prestisius di negerinya, Amerika Serikat, serta menikmati kesenangan duniawi yang berlimpah, tak membuat Craig Owensby bahagia. Bathinnya hampa. Dia butuh pencerahan rohani sebagai pengimbang. Setelah bertahun-tahun merintis karir, Craig memutuskan belajar Injil, teologi, dan keislaman di Princeton Theological Seminary, Princeton, NJ. Beberapa tahun kemudian ia menjadi pendeta mengikuti jejak sang ayah yang pendeta Katolik di sebuah gereja di New York dengan 6.000 pengikut.
Meski sukses sebagai pendeta, kebahagiaan dan ketenangan bathin yang ia dambakan belum juga berpaling kepadanya. Craig justru kian resah dengan konsep ketuhanan Yesus yang ia pelajari. Pengetahuan yang ia miliki membuatnya tak percaya bahwa Isa adalah Tuhan, "Injil menjelaskan bahwa Isa adalah tuan, bukan Tuhan," begitu kesimpulan yang diambilnya setelah mendalami Injil; selama bertahun-tahun.
Di tengah kerisauan hatinya, pada suatu hari secara tak sengaja perhatiannya tertuju pada seorang kawannya bernama Nashir, yang tergabung dalam kelompok sepakbola Pakistan. Baginya, Nashir berbeda dengan anggota tim lainnya yang dinilai lebih pintar, disiplin, dan baik. Bagi Craig, Nashir dianggap mencerminkan sosok Muslim yang sebenarnya. Hal ini membuatnya tertarik dengan konsep Islam, yang kemudian berlanjut dengan keputusannya berhenti menjadi pendeta, untuk bisa mempelajari Islam secara lebih intensif. Kemudian ia terjun kembali ke bidang bisnis, di samping terus mendalami Islam secara otodidak.
Percik-percik hidayah Allah datang tatkala dia ditugaskan bekerja di Indonesia sekitar tahun 1997. Craig tinggal di kawasan Muarabaru, Jakarta Utara. Di lingkungan tempat tinggalnya yang baru, dia menemui banyak hal yang sangat menyentuh batin, khususnya kemiskinan dan penderitaan hidup yang dialami masyarakat sekitarnya. Craig tertarik dengan kehidupan anak-anak Muslim di wilayah itu. Menurutnya, walau miskin, mereka hidup dengan penuh kesederhanaan dan tetap mampu tampil bersih serta bahagia.
Sejenak dia teringat pada masa kecilnya ketika masih tinggal bersama orang tuanya di Meksiko dan Kolumbia. Ketika itu ia menyaksikan betapa anak-anak Katolik di sana hidup penuh kekerasan, miskin, dan kotor. Tak ada cerminan ketenangan dan kedamaian dalam hidup mereka. Craig merasakan kedua hal yang bertentangan itu memberinya inspirasi untuk mengetahui dan mempelajari agama Islam lebih jauh.
Waktu demi waktu berlalu, Craig sudah sangat akrab dengan istilah-istilah Islam pada tahun-tahun terakhir, rasanya hanya tinggal ‘gong pamungkas’ yang membawanya untuk memeluk Islam. Suatu ketika ia terbangun di saat subuh, sekitar pukul 04.30 WIB, dan itu sangat tidak biasa baginya. Saat terbangun itu ia bergumam, "Sungguh menakjubkan."
Ketika keluar dari kamar, dia melihat salah satu dari anak asuhnya sedang melaksanakan salat subuh dengan tenang dan khusyuknya. Craig tertegun. Sejenak dia memandangi anak asuh itu, dan merasa amat tersentuh. Lagi-lagi ia bergumam, "Anak sekecil ini kok bisa disiplin terhadap agamanya? Kenapa pula dia harus salat?”
Kemudian Craig mengambil dan mempelajari dengan serius buku Karen Armstrong yang berjudul The Life of Muhammad. Sebuah buku tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW yang sangat bagus dan realistis, meski penulisnya bukan seorang muslim. Ia mempelajari dengan giat makna salat dan juga tentang Islam yang lebih luas. Akhirnya dia memutuskan pilihan dan jalan hidupnya, akan masuk Islam. "Saya mau mengucap kalimat syahadat," ujarnya.
Ketika tekadnya sudah sangat bulat, dia memutuskan untuk pergi ke sebuah pengajian di daerah Kemang, tempat pengajian khusus para bule. Oleh salah satu pengasuh, yakni Ustad Rickless, ia disuruh banyak membaca hadits dari buku hadits yang sangat besar. Craig agak bingung; kenapa harus ada hadits? “Kenapa saya harus membacanya? Bukankah Alquran pun sudah sempurna?” Begitu pikirnya.
Tetapi karena sang ustad telah memerintahkan, ia memutuskan untuk membacanya, sampai akhirnya ia dapat mengerti bahwa hadits itu memang penting. Craig sudah sampai pada ‘action’ sebagai muslim yang benar, yakni melakukan salat lima waktu, walaupun ia belum mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia pernah mengatakan kepada beberapa koleganya di Amerika pada Desember 1998, bahwa ia akan memeluk Islam. Itu setelah beberapa kali ‘mondar-mandir’ ke Jakarta.
Proses pencarian kebenaran Islam terus dilakukan, sampai pada suatu satu hari di bulan Mei 2001 ia mengikrarkan diri menjadi Muslim di Pengajian Rahmania, Kuningan, dengan bimbingan Ustadz Rikza Abdullah. Ketika ditanyakan alasan keputusannya memeluk Islam, ia berkata, "Saya ingin menjadi orang yang tahu kebenaran. Saya bersedia menjadi Muslim karena ingin kebenaran. Bisa saja kebenaran itu menyusahkan, tapi saya percaya dengan kebenaran itu."
Setelah memeluk Islam, Craig ‘melengkapi’ namanya dengan identitasnya sebagai muslim tanpa meninggalkan nama aslinya, Craig Abdurrohim Owensby. Setahun kemudian ia menikahi seorang gadis Sunda Lilis Fitriyah.
Sejak keislamannya itu, Craig makin yakin dengan ajaran Alquran bahwa manusia dilahirkan suci dan menjadi khalifah di bumi. Ia berkata, "Saya sekarang telah menjadi khalifah bagi Allah. Awalnya saya Islam hanya dengan membaca, berpikir, dan berbicara, tapi belum mempraktekkan. Sekarang saya memutuskan untuk menjalankan Islam secara serius."
Meski telah serius memilih Islam sebagai keyakinannya, tetapi muallaf ini merasa masih harus 'berjuang' menjadi Muslim yang sebenarnya. Pasalnya, ia tak biasa bangun pagi. Kini ia harus melaksanakan shalat Subuh ketika biasanya di waktu sama masih tertidur pulas. Namun, akhirnya ia merasa bersyukur mampu menaklukkan ego dirinya. Baginya, dapat menjalankan shalat Subuh dengan baik merupakan tolok ukur kemampuannya melaksanakan shalat wajib yang lain. "Pertama kali shalat Subuh saya sangat puas dan senang. Setelah itu melaksanakan shalat-shalat yang lain menjadi enteng."
Tidak hanya sampai di situ, rupanya Craig belum merasa menjadi Muslim kaffah sebelum dapat mendakwahkan Islam. Menurutnya ada dua fase yang ia jalani, yaitu menjadi Muslim dan berdakwah. Kini ia sedang melakukan fase kedua itu sambil berbisnis, yakni dengan melontarkan sebuah program layanan ‘Al-Qur’an Seluler”. Craig yakin sarana dakwahnya ini bakal bermanfaat karena tak membeda-bedakan seseorang. "Sebagai gerakan Qurani, program dakwah ini saya jadikan sarana berkompetisi dengan evangelis (para misionaris dan pendakwah Kristen). Kita harus mempunyai umat yang kuat imannya dan lebih baik dari umat non-Muslim."

Disunting dari : Craig Abdurrohim : Islam Jalan Hidupku
Swaramuslim.net, Journey to Islam, 25 Oct 2003 - 4:48 am (1.003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar