Berpetualang Dalam
Keyakinan
Para
pecinta dan penikmat musik pop dunia, khususnya untuk era 60-70an pastilah
mengenal nama Cat Stevens, dengan salah satu lagunya yang terus melegenda
sampai saat ini, “Morning Has Broken”. Lahir di Kota London, di jantung Negara Inggris,
salah satu negara paling modern saat itu, Cat Steven tumbuh dalam lingkungan
kristen yang sangat kental. Pendidikannya diselesaikan pada sekolah-sekolah
Katholik. Ia sangat memahami ajaran kehidupan dan ajaran agama yang dipeluknya.
Ia mengimani adanya Tuhan, Isa Almasih sebagai ‘anak Tuhan’, takdir, serta
tuntunan jalan yang baik dan buruk. Gereja banyak mengajarkan dan menekankan pada
dirinya untuk percaya kepada Allah, sedikit pada Isa Almasih dan mengurangi
sedikit dari kepercayaan kepada roh kudus.
Sebagai garda terdepan kekuatan
kristen sejak terjadinya perang Salib, yakni ketika Raja Richard, The Lion
Heart menjadi komandan utamanya, Negara Inggris juga menjadi pioner
liberalisasi dan kapitalisasi sejak terjadinya revolusi industri. Akibatnya,
pola fikir masyarakat menjadi sempit dan
picik, segala sesuatunya lebih banyak diukur dengan materi semata-mata. Pada waktu
itu mereka mengajarkan pada Cat Stevens dan generasinya, bahwa kekayaan adalah
suatu kehormatan dan hak yang hakiki, sedang kemiskinan adalah suatu kekalahan total
dan memalukan.
Akibat didikan yang kontradiktif seperti
itu, ia menciptakan falsafah hidupnya sendiri, bahwa antara kehidupan (sehari-hari)
tidak ada hubungannya dengan agama (pola fikir sekuler). Ia mewujudkan falsafahnya
itu dengan mencontoh Amerika, ia dan orang-orang di generasinya beranggapan
bahwa Amerika adalah suatu lambang kekayaan sekaligus kebebasan (kemerdekaan) yang
nyata. Dan negara-negara dunia ke tiga di Asia
dan Afrika adalah contoh dari kemiskinan, kesengsaraan, keterbelakangan,
kebodohan dan kesesatan. Karena itulah Cat Stevens mencari jalan untuk menjadi
kaya agar bisa hidup terhormat dan bahagia.
Mulailah ia merintis jalan untuk
hidup sukses, dan ketika itu cara yang paling murah adalah dengan mempunyai
gitar. Dengan bakat dan ketrampilannya, ia mulai menciptakan syair dan irama
lagu melalui gitar, yang ternyata mendapat sambutan yang luar biasa. Dengan
cepat namanya dikenal masyarakat, dan saat berusia 18 tahun ia telah mencetak delapan
album lagu. Mulailah ia melakukan show di berbagai penjuru dunia, dan
mengumpulkan banyak ketenaran, pujian, sekaligus kekayaan yang terus mengalir
masuk ke koceknya.
Tetapi pada titik puncaknya itu, ia
sering melihat keadaan mereka yang di bawah, yang miskin dan hidup dalam
kesulitan, dan ia menjadi gamang dan khawatir. Ia takut kehilangan semuanya itu
dan menjadi kaum yang di bawah. Sejak itu perasaannya menjadi tidak tenang,
rasa was-was selalu merasuk dalam jiwanya. Dan sejak saat itu pula, ia mulai
menenggak minuman keras hampir setiap harinya, untuk ‘menanggulangi’ kecemasan
jiwanya. Minuman beralkohol itulah yang memberi semangat dalam karier dan hidupnya.
Pada waktu itu ia merasa sepertinya semua orang. memakai topeng, mereka bersikap
munafik untuk bisa menjual ‘dirinya’, untuk bisa mendapatkan keuntungan sesaat agar
tetap hidup.
Ketika menyadari semua itu adalah
sesuatu yang merugikan dan kejam, ia mulai membenci kehidupannya sendiri. Sedikit
atau banyak, didikan rohaniah (kristen tentunya) ketika masih kecil mengusik
hatinya. Karena itulah ia mulai menjalani kehidupan menyendiri, meninggalkan
gegap gempita dunia entertainment yang telah memberinya banyak kekayaan dan
ketenaran. Jiwanya terasa sakit tak terkendalikan, dan itu berdampak pada fisiknya.
Ia dipindahkan ke rumah sakit dan ternyata ia mengidap penyakit TBC. Selama
tinggal di rumah sakit, ia banyak memperoleh kebaikan karena mereka mengajarkan
pada dirinya, bagaimana caranya berfikir secara positip, menatap kehidupan
dengan cara yang lebih baik.
Setelah itu datang perasaan beriman
kepada Tuhan, tetapi pengajaran gereja, baik yang diterimanya ketika masih
kecil atau penjabaran para pendeta saat itu, tidak memberikan penjelasan
tentang siapa Tuhan itu sebenarnya, yang bisa memuaskan perasaannya. Akhirnya fikirannya
lumpuh untuk menjelaskan siapa Tuhan, atau apa itu Tuhan seperti yang pernah
disebut-sebut di gereja ketika ia masih kecil dahulu.
Bagaimanapun juga, ketika ‘sentuhan
dan panggilan’ Ilahiah untuk mengenal-Nya datang pada seseorang, ia tidak akan
pernah berhenti mencari sampai memperoleh jalan memahami-Nya. Hal itu juga yang
terjadi pada Cat Stevens, ketika akal dan logikanya lumpuh dan hanya menemui
jalan gelap, ia mulai mengalihkan pemikirannya ke suatu cara hidup yang baru,
ia mulai membaca berbagai macam kepercayaan dan pemikiran ketimuran, yang lebih
mengedepankan kepada perasaan dan renungan daripada akal dan logika.
Ketika ia ‘kembali’ ke dunia nyata,
muncul suatu perasaan akan adanya suatu ‘Tujuan’ tetapi ia masih tidak memahami
apa tujuan yang datang padanya itu. Tanpa disadarinya, ia seringkali hanya duduk
menyendiri dalam lamunan yang panjang. Mulailah ia berfikir untuk mencari
kebahagiaan yang tak pernah didapatkan dari kekayaan, kejayaan atau kemashuran
yang pernah diraihnya, atau dirasakannya
dalam kehidupan gereja.
Ia memilih untuk memeluk agama
Budha dan juga mulai mendalami pemikiran Cina. Dari mempelajari dan memahami
akan apa yang terjadi, ia berharap memperoleh kebahagiaan. Dengan adanya petunjuk
dan isyarat akan terjadinya suatu peristiwa, ia berharap dapat menghindar dari
suatu kerugian, kehancuran atau kejahatan. Tetapi berlalunya waktu, ia menjadi
seorang yang berserah kepada keadaan dan mempercayai bintang-bintang. Ia juga
percaya para peramal, tetapi kemudian ia merasa bahwa semua itu ternyata omong
kosong belaka.
Semua yang dipelajari dan
dijalaninya itu ternyata belum ‘memuaskan’ dahaganya, dan ia merasa belum
sampai kepada ‘tujuan’ yang diharapkannya. Ia berpindah keyakinan lagi, dan ia
memilih untuk menjadi seorang yang berfaham komunis. Logikanya menduga bahwa kebahagiaan
akan terwujud jika kekayaan dibagi rata ke seluruh manusia di dunia ini,
sebagaimana konsep komunisme, ‘Sama Rata Sama Rasa’. Tetapi lagi-lagi ia merasakan
faham ini tidak selaras dengan naluri kemanusiaan, yakni keadilan. Keadilan itu
bukanlah dibagi samarata, tetapi setiap orang berhak atas sesuatu sesuai dengan
jerih payah atau usahanya. Bukannya setelah seseorang bersusah payah
mendapatkan suatu hasil, kemudian dibagi rata dengan orang. yang. tidak
bersusah payah atau bermalas-malasan saja untuk mendapatkan itu.
Akhirnya ia berkesimpulan (ketika itu
belum mengenal Islam), bahwa tidak ada ajaran yang bisa memuaskan dahaga dan
pencariannya, dan ia kembali pada kepercayaannya, yakni ke gereja. Bagaimanapun
juga gereja masih lebih baik dari semua yang pernah ditemukan dan dipelajarinya
selama dalam pencariannya itu. Ia kembali pada dunia musik dan mulai dari bawah
lagi dengan ketetapan hati bahwa Katholik inilah agamanya dan tidak ada agama
lain. Ia berusaha ikhlas dengan keyakinannya itu, dan berusaha memperbaiki
musik agar menjadi sesuatu yang terbaik. Ia mengambil satu pedoman dari ajaran
gereja, yaitu : Jika ingin mencapai kedudukan seperti Tuhan, maka berusahalah
untuk ikhlas menyelesaikan suatu pekerjaan.
Mulai Mengenal dan
Memeluk Islam
Suatu hari di tahun 1975 terjadilah
suatu keajaiban, tiba-tiba saja kakaknya yang tertua memberinya hadiah kitab
Al-Qur‘an. Walau ia tidak mengerti bahasa Arab, tetapi seolah-olah ada daya tarik
yang membangkitkan kembali keinginannya untuk mencari ‘tujuan’ yang belum
ditemukannya itu. Ia mencari seorang penterjemah yang bisa menjelaskan, atau
memberitahukan padanya, apa isi dari kitab Al Qur’an itu. Dan itulah pertama
kalinya ia berfikir tentang Islam.
Sebenarnya bukannya ia tidak pernah
mendengar tentang agama Islam sama sekali, tetapi Islam dalam pandangan orang-orang
Barat saat itu adalah faham rasialis, dan kaum muslimin hanyalah orang-orang
asing yang berasal dari Turki dan Arab walaupun mereka adalah warga negara di
Eropa. Orang tuanya berasal dari Yunani, dan pada umumnya, orang-orang Yunani
sangat membenci orang muslim Turki. Karena itu sudah sepantasnya kalau ia
membenci agama dan keyakinan orang-orang Turki. Tetapi setelah melihat dan
memperhatikan ayat-ayat dalam Al-Qur‘an yang telah diterjemahkan itu, ia tidak menemukan
adanya larangan bagi siapapun untuk mengetahui isi dari Qur‘an itu sendiri.
Ketika pertama kali membuka lembaran
Al-Qur‘an, yang diawali dengan Basmalah, ia langsung terpesona. Disana jelas tercantum
nama ‘Allah’ dan dilanjutankan dengan ‘identitas’ lainnya, ‘Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang’. Kalimat pendek itu seperti memberikan sepercik kesegaran pada jiwanya
yang selama ini gersang. Pada ayat selanjutnya dari surat Al Fatihah itu, yakni
Alhamdu lillaahi rabbil ‘alamin, yang artinya : Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam, sekali lagi ia memahami ‘identitas’ ketuhanan itu, dan ia merasakan diri
dan jiwanya yang teramat kecil dan lemah, di hadapan Allah SWT.
Dahulu dalam kehidupannya di
gereja, mereka mengajarkan bahwa Allah adalah satu dan terbagi menjadi tiga. Saat
itu muncul pertanyaan bagaimana terjadinya, tetapi ia tak tahu bagaimana
penjelasan yang bisa diterima logikanya. Mereka juga mengatakan bahwa Allah
kaum Nasrani itu berbeda dengan Allah kaum Yahudi, dan hal itu tidak bisa
diterima akal sehatnya. Bagaimana jadinya kehidupan kalau dua Allah yang
berbeda itu ‘bertempur’ berebut kekuasaan, seperti halnya dua raja di dunia
yang berperang saling memperebutkan wilayah?
Tetapi baru saja dengan dua ayat Al
Qur’an yang dibacanya, seakan-akan ia telah memperoleh jawaban atas berbagai
pertanyaan dan kebimbangan tentang ketuhanan, yang menggelayutinya selama
bertahun-tahun. Ayat demi ayat selanjutnya, memberinya kegairahan untuk terus membaca
dan mempelajarinya. Semua penolakan dan
‘pemberontakan’ yang sempat membawanya kepada ajaran komunis seolah terpuaskan
dengan membaca Al Qur’an tersebut.
Dalam pandangan Cat Stevens, Al-Qur‘an
sebagai suatu ‘kitab’, tampak asing dan berbeda dengan kitab-kitab yang pernah
dipelajarinya. Didalamnya tidak adanya paragraf atau alenia, atau juga penjelasan
seperti yang terdapat pada Al Kitab/Bibel (Perjanjian Lama, Perjanjian Baru)
misalnya. Pada Al-Qur‘an tidak tercantum nama pencatat atau penulisnya, semua
kalimat dan maksudnya tersusun secara rapi, tidak ada yang saling bertentangan
satu sama lainnya. Di semua tempat dalam Al Qur’an menyatakan bahwa Allah Maha
Esa. Bukan hanya satu utusan saja, yakni Nabi Muhammad SAW, tetapi semua nabi-nabi
yang pernah diutus Allah disebutkan di dalamnya. Mereka semua yang dikasihi Allah
dan sejajar derajatnya di sisi-Nya, tidak ada perbedaan di antara mereka. Dari sinilah
ia makin yakin dan percaya bahwa Al Qur’an benar-benar wahyu Allah yang
diturunkan kepada Rasul/ utusan-Nya
Setelah membaca dan mempelajari
Al-qur‘an selama setahun, ia mulai mencari cara bagaimana ia memahami isinya. ‘Kegairahannya’
untuk belajar membuatnya merasakan bahwa hanya dia sajalah seorang muslim di
dunia saat itu, apalagi dengan situasi ‘modernisasi’ kota
London. Pada
akhirnya, setelah ia makin mantap untuk memeluk Islam, ia pergi ke masjid di
London dan mengucapkan dua kalimah syahadah, kesaksian bahwa tidak Tuhan selain
Allah dan Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Ia mengganti, atau
memperoleh nama Islami menjadi Yusuf Islam.
Tetapi begitu kesaksian itu
meluncur dari mulutnya, ia merasakan bahwa hal itu adalah ajaran yang berat. Bukan
kalimat yang ringan semudah ia mengucapkannya, tetapi menuntut suatu tanggung
jawab untuk menyelesaikan tugas sebagai seorang muslim. Di sisi lain, ia merasa
baru terlahir kembali, walaupun segudang beban dan tantangan tampak menghadang
di depan mata. Tentulah situasi masyarakat London
sangat berbeda dalam menyikapi seorang muallaf seperti dirinya, dibandingkan
masyarakat Indonesia
misalnya, yang Islam menjadi agama mayoritas penduduknya. Apalagi sebelumnya ia
telah dikenal sebagai ‘publik figure’ walau hanya di bidang musik, dalam level
yang mendunia.
Cat Stevens, atau kini menjadi
Yusuf Islam, memperoleh hidayah karena cukup intensif mempelajari Al-Qur’an,
tetapi ketika ia bergaul dengan kaum muslimin lainnya terkadang ia mendapati
kenyataan yang berbeda dengan apa ‘tertanam’ di dalam pikirannya. Beberapa dari
mereka menunjukkan pada dirinya tentang apa itu Islam tetapi sepertinya
‘berbeda’ dengan gambaran ‘ideal’ yang terlanjur tertanam dalam dirinya ketika
mempelajari Al Qur’an, sehingga terkadang ia mengabaikannya. Ketika ia lebih
jauh mengamati, ternyata hal itu disebabkan kebanyakan dari kaum muslimin itu
lebih banyak memperturutkan hawa nafsu dan kesenangan duniawiah semata. Pengaruh
negatif dari pemberitaan dunia barat dan juga beberapa negara muslim ikut mengaburkan
hakikat ajaran Islam. Tanpa disadari mereka banyak mendukung pada orang-orang
atau golongan atau gerakan yang justru merendahkan Islam.
Seperti halnya ketika ia ‘terpecik’
hidayah untuk mempelajari Al Qur’an, kini ia terdorong untuk mempelajari peri
kehidupan tokoh sentral salam Islam Nabi Muhammad SAW, dan dari sinilah ia
mendapatkan “inti” dari ajaran Islam. Sejak saat itu ia mengetahui bahwa ‘jalur’
yang maha berharga dalam kehidupan ini adalah Rasulullah SAW dan sunnah-sunnahnya.
Keasyikannya dalam mempelajari jalan hidup Nabi SAW membuatnya terlupa akan
dunia yang membesarkannya, dunia musik. Ketika suatu hari ia menanyakan pada seorang
ulama, apakah ia boleh melanjutkan kehidupannya dalam dunia musik? Beliau menasehatkan
untuk berhenti saja, katanya, ”Musik akan mengambil sebagian besar waktumu untuk
berdzikir kepada Allah, dan hal itu adalah sesuatu yang amat berbahaya bagimu.”
Yusuf Islam mematuhi nasehat itu,
ia benar-benar meninggalkan dunia musik dan terjun dalam dunia dakwah Islamiah.
Semua kekayaan dan hartanya yang telah terhimpun sangat banyak selama berkarir
dalam dunia entertainment itu, kini digunakannya untuk merambah jalan dakwah,
jalan amar ma’ruf nahi munkar, jalan menyebarkan Islam, dan jalan menuju kepada
Allah SWT.
Disunting dari : Yusuf Islam : Bagaimana
saya memeluk Islam
Swaramuslim.net, Journey to Islam, 28 Apr
2005 - 7:34 am (1.074)