Hermanus Paulus Poli, dari namanya
jelas bahwa ia seorang pemeluk Nashrani, tepatnya Kristen Protestan. Boleh
dibilang keluarganya adalah penganut Kristen yang taat saat itu. Ayahnya seorang
pensiunan sebuah BUMN yang bergerak di bidang perbankan, dan ibunya seorang arkeolog.
Setelah menyelesaikan S1-nya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP),
jurusan ilmu politik di salah satu universitas negeri di Indonesia, ia berangkat
ke Gold Coast University, Australia untuk menyelesaikan S2. Namun baru saja
duduk di semester tiga di tahun pertama, kuliahnya terganggu karena ulahnya
sendiri. Memang, sejak kuliah ia sudah mencandu narkoba. Ia tinggal bersama
tiga orang kawan di apartemennya, yang semuanya pecandu narkoba.
Di kampus, teman-temannya ada juga
yang beragama Islam, dan ia tidak pilih-pilih dalam bergaul, termasuk
rekan-rekan muslimnya itu. Ia seringkali terlibat diskusi seputar persoalan
agama dengan mereka, khususnya membicarakan konsep ketuhanan agama
masing-masing. Semula ia tidak menyukai topik diskusi ini, karena sebagai
seorang Kristiani, ia merasa minder dan rendah diri. Dalam hati ia mengakui,
betapa jelas konsep ketuhanan dalam Islam, yaitu Allah Yang Maha Esa. Sangat
jelas bahwa Tuhan itu sebenarnya memang Maha Esa dan Maha Besar.
Setelah berlangsungnya diskusi-diskusi
seperti itu, sedikit atau banyak, timbul keraguan dalam hatinya tentang konsep
ketuhanan Kristiani yang bisa dikatakan membingungkan. Terkadang penganut
Kristiani harus meyakini Yesus Kristus sebagai Tuhan. Namun di sisi lain, Injil
sendiri memuat ayat kalau Yesus sendiri menyangkal kalau dirinya adalah Tuhan.
Dengan terang-terangan Yesus menyuruh untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Satu (ternuat
dalam Yesaya 17: 3). Makin lama keraguannya terhadap ajaran Kristiani,
khususnya ketuhanan, tak dapat dielakkan, baginya konsep Trinitas dalam Kristen
sangat kacau.
Pada suatu kesempatan, Hermanus
mencoba mengambil mushaf al-Qur’an terjemahan milik salah seorang temannya.
Semula ia ingin mempelajari isi al-Qur’an tersebut demi mencari
kelemahan-kelemahan agama Islam, sehingga ia mempunyai ‘bahan’ untuk berdiskusi
dengan mereka. Namun, semakin dalam ia merenungi ayat-ayat al-Qur’an, hatinya
semakin takjub terhadap Islam. Betapa jelas konsep Ketuhanan yang dipaparkan
Islam melalui surat al-Ikhlash, betapa gamblangnya
dialog Allah dan Yesus (Nabi Isa AS ) yang diabadikan dalam surat al-Maidah ayat 116. Dan banyak lagi
ayat-ayat lainnya.
Terlepas dari ‘pengaruh’ Islam
dalam dirinya, akibat pergaulan dengan teman sekamar (se-apartemen) yang
pecandu narkoba, kondisinya di Autralia kian hari kian memburuk. Kecanduannya
terhadap barang-barang terlarang itu makin sulit dilepaskan, dan kuliahnyapun
jadi berantakan. Karena dipikirnya lebih banyak membuang waktu percuma, akhirnya
ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta .
Di Jakarta, Hermanus bersama beberapa
temannya mendirikan usaha di bidang entertaimen dan lebih mengutamakan bidang
promosi (event organizer). Usahanya berkembang pesat, tapi ternyata kecanduannya
terhadap putaw sulit untuk dilepaskan. Sebenarnya seluruh keluarganya sudah
tahu tentang kebiasaan buruknya ini, tetapi mereka tidak mempermasalahkan.
Mereka telah maklum, apalagi ia adalah anak bungsu yang keras kepala.
Berkali-kali ia dibawa berobat ke dokter spesialis dan pusat rehabilitasi
mental untuk menghilangkan penyakit kecanduan ini, namun hasilnya selalu nihil.
Dua atau tiga bulan kemudian selalu saja ia kembali mencandu.
Terlepas dari penyakit
kecanduannya, dan juga terlepas dari keraguannya terhadap ajaran Kristen, khususnya
masalah Ketuhanan, setiap hari Minggu ia selalu pergi ke gereja bersama
keluarganya. Tetapi sayangnya, dalam suasana ‘ibadah’ di gereja, ia tidak
menemukan sesuatu yang dapat menyadarkannya dari ‘kebohongan’ gereja. Ia benar-benar
merasa hampa, apalagi seorang pendeta yang pernah diminta penjelasan tentang
berbagai keraguannya itu tak dapat memberikan jawaban yang dapat memuaskannya.
Suatu hari di tanggal 12 September
2002, sepulang dari membeli putaw, Hermanus tertangkap oleh polisi, dan digiring
ke Polres Menteng, Jakarta Pusat. Ia diinterogasi dan akhirnya ditahan.
Perasaannya saat itu biasa saja, bahkan tidak ada kekhawatiran sama sekali,
karena ia yakin bahwa keluarganya pasti bisa membebaskannya. Mereka memang
punya relasi yang luas, baik di kepolisian ataupun di birokrasi. Tetapi semuanya
di luar dugaan, usaha keras keluarganya untuk mengeluarkannya dari penjara dan
juga dari jeratan hukum ternyata tidak berhasil. Ia pun mulai ketakutan di
dalam penjara. Setelah hari ketiga sejak penangkapan, ia ditempatkan dalam sel
yang dipenuhi para tahanan. Gelisah, takut, dan marah, semuanya bercampur dalam
dada, tetapi dengan uang, ia bisa mengendalikan para preman di dalam penjara.
Saat hari Minggu tiba ada pendeta
yang datang untuk kebaktian bagi tahanan yang beragama Kristen, iapun turut serta
dalam acara tersebut. Pada malam harinya ia tergerak untuk membaca buku “Malang
Nian Orang yang Tidak Shalat”, milik salah seorang napi yang beragama Islam.
Anehnya, setelah membaca buku tersebut ia merasakan sesuatu yang lain. Tergerak
dalam lubuk hatinya yang terdalam untuk melakukan shalat, walau ia tidak tahu
bagaimana caranya. Keesokan harinya ia membaca di dinding sel yang penuh dengan
coretan tahanan sebelumnya, “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan
apabila kamu berdoa sebanyak kamu bercemas, maka seketika kecemasan itu akan
hilang.”
Tanpa pikir panjang, semua
buku-buku tentang Islam yang ada di kamar itu dipelajarinya, termasuk tata cara
shalat. Ia dapat memahami bagaimana cara shalat dan berwudhu dari sel tahanan
lain. Tentu saja para preman yang beragama Kristen jadi marah pada dirinya,
tetapi ia tidak mempedulikan mereka. Pikirnya, kalau mau ribut, silakan, ia siap
menghadapi mereka. Sejak saat itu ia jadi berani melaksanakan shalat walau
belum mengucapkan ‘kesaksian’ dua kalimat syahadat. Ia yakin, Allah SWT akan
menerima shalatnya, karena merasa telah ber-syahadat di hadapan Allah SWT.
Setelah dua minggu ditahan, masuklah sejumlah tahanan dari Front Pembela Islam
(FPI), dan dari merekalah ia belajar lebih banyak tentang Islam, khususnya dari
Ustadz Ja’far Umar Shiddiq.
Seminggu kemudian Hermanus dikirim
ke rutan Salemba. Ia tetap shalat dan berdoa semoga di sana ia tidak disiksa oleh sesama tahanan,
dan bertemu dengan orang-orang yang dapat membimbingnya. Dan syukur Alhamdulillah
harapan menjadi kenyataan, ia ditempatkan di Blok C, dan di sana bertemu dengan dua orang yang berakhlak
baik. Setiap hari ia mengkaji kitab al-Qur’an terjemahan dan belajar membaca
al-Qur’an. Banyak sekali buku-buku yang dijadikannya referensi untuk mendalami pengetahuan
Islam, antara lain: Menuju Jalan Ke Surga, Di Balik Rahasia Surat at-Taubah,
dan lain sebagainya.
Selama ditahan, setiap hari
keluarganya datang menjenguk. Mereka tetap memberikan dorongan dan dukungan
kepadanya, serta memperlihatkan perhatian yang serius terhadap masalah yang
dihadapinya. Akhirnya diputuskan hukumannya selama satu tahun enam bulan, jauh
lebih ringan dari tuntutan sebelumnya, yakni empat tahun penjara.
Ketika ia merasakan keimanannya
kepada Islam makin kuat, ia bermaksud mengutarakan kepada keluarganya tentang
identitas dirinya sebagai seorang Muslim. Tetapi begitu mengetahui, mereka
sangat marah, ia dimaki-maki, dikatakan telah terpengaruh setan, bodoh, tolol
dan diperintahkan harus kembali ke agama Kristen. Mereka mengancam tidak akan
membesuk dan tidak akan menyuplai apapun. Padahal ‘biaya hidup’ di dalam
penjara sangatlah besar, untuk makan, bayaran wajib pintu, uang kunci mingguan,
dan lain-lain sebagainya. Apabila tidak memenuhi semua itu, ia akan menemui
masalah besar dengan para preman. Ia menjadi bimbang lagi, dan dalam kegalauannya,
ia kembali terjebak memakai putaw. Tetapi bagi keluarganya, hal itu bukanlah
masalah besar, dan juga tidak masalah harus tetap menyuplai kebutuhannya di
penjara asal ia mau kembali ke gereja dan menyatakan dirinya sebagai seorang Kristiani.
Ternyata keimanannya tidak begitu
saja tergoyahkan, tetapi karena terlanjur memakai putauw dalam kebimbangannya
itu, ia terpaksa ‘berhadapan’ dengan para bandar putaw di penjara. Mereka memaksanya
untuk membeli putaw mereka, dan sempat terjebak lagi sebagai pecandu. Tapi itu
hanya berlangsung selama dua minggu, dan Allah menyadarkan dirinya. Ia dengan
tegas menolak ‘memakai’ lagi walau mereka mengancamnya. Kemudian ia berpikir
untuk ‘hijrah’ dari penjara tersebut ke penjara lainnya, agar ibadahnya lebih
tenang dan tidak terganggu dengan ulah para preman dan bandar putaw. Untuk itu,
terpaksa ia menyogok bagian pendaftaran untuk memasukkan namanya dalam daftar
nama-nama napi yang akan dipindahkan ke LP Tangerang.
Dua hari kemudian namanya dipanggil
untuk dikirim ke Lapas kelas I Tangerang. Setelah tiba di Tangerang , ia
menelepon keluarganya untuk menginformasikan kepindahannya ke penjara
Tangerang. Tetapi saat menelepon itu ia juga menegaskan kepada mereka bahwa ia akan
tetap menjadi seorang Muslim, yang meyakini bahwa Allah itu Maha Esa, tidak
beranak dan tidak diperanakkan dan Muhammad SAW adalah Rasulullah (Utusan
Allah). Keesokan harinya, mereka datang ‘membesuk’, tetapi dengan tujuan yang
lain. Begitu bertemu, ia langsung ditempeleng dan diludahi, bahkan hpnya
dirampas. Sejak itu, mereka benar-benar tidak mau menyuplai apapun yang menjadi
kebutuhannya di penjara. Bahkan mereka mengharapkan agar ia mati saja di dalam
penjara agar tidak membuat malu keluarga.
Memang, ketika keimanan telah
begitu merasuk ke dalam jiwa, halangan apapun memang tidak akan bisa
menggoyahkannya. Tekadnya sudah bulat, ia akan tetap pada komitmennya berada di
jalan Allah. Di LP Tangerang kehidupannya sangat begitu sulit tanpa bantuan
keluarganya, ia bagai anak hilang. Terkadang ia bingung, bagaimana harus mandi
tanpa sabun, pasta gigi dan shampo. Makannyapun apa adanya, nasi putih dan
sayur, yang tidak layak dimakan manusia normal. Minumannya pun air mentah tanpa
dimasak sama sekali. Ia berusaha meminimalisasi penderitaannya dengan bekerja
sebagai tukang cuci pakaian orang. Tapi tidak setiap hari ia mendapat order
itu. Sekali mencuci ia dibayar Rp 200 sampai Rp 3000, dan itu hanya cukup untuk
makan sehari saja. Ia ditawari bekerja pada beberapa orang Nigeria dan Tionghoa, namun
konsekuensinya ia harus siap selama 10-12 jam di kamar mereka dengan
mengerjakan apa pun yang mereka inginkan. Memang upahnya cukup lumayan, namun
waktunya untuk Allah akan hilang. Karena itulah ia memutuskan untuk menolak
tawaran kerja tersebut, padahal mereka sangat senang, karena ia bisa berbahasa
Inggris dan Perancis.
Hermanus sadar, sebagai seorang muslim,
ia tidak boleh menggantungkan hidupnya kepada orang kafir. Ia yakin bahwa
rezeki sudah ditentukan, karena itu ibadah kepada Allah menjadi prioritas utamanya.
Shalat, mengaji dan memperdalam agama menjadi santapannya setiap hari. Walau
begitu, ia sadar bahwa cobaan memang tidak berhenti sampai di situ.
Tekanan-tekanan mental dari orang-orang non-Muslim, khususnya dari etnis
tertentu terhadap dirinya berlanjut di penjara ini. Beberapa petugas sangat
sinis kepadanya karena berbeda agama denganya. Celakanya lagi, banyak sekali orang
muslim yang tidak taat di penjara ini. Perintah berjamaah hanya diterapkan
dalam shalat, tetapi tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Akibatnya, banyak sekali orang muslim yang murtad karena tidak tahan lapar dan
harus ke gereja (dalam LP) demi untuk mendapatkan sekotak makan, sabun, pasta
gigi, sampho dan obat-obatan.
Seiring berjalannya waktu, gerakan dakwah
mulai muncul di dalam LP. Beberapa napi mencoba membuat kegiatan-kegiatan untuk
memakmurkan masjid dan kegiatan sosial bernafaskan Islam, seperti membuat dapur
umat dan merayakan hari-hari besar Islam. Dalam kesempatan ini ia bergabung
dengan para aktivis dakwah, yakni membuat drugs conselling (bimbingan untuk
menghindari narkoba, red) untuk para pecandu narkoba. Ceramah interaktif
tentang narkoba juga diberikan oleh Prof Dr Dadang Hawari. Dan akhirnya di LP
ini berdiri Pondok Pesantren At-Tawwabin yang santrinya berasal dari kalangan
narapidana. Masjid Baitus Salam yang berada dalam LP juga penuh sesak dengan
para jamaah. Setiap datang waktu shalat, adzan selalu berkumandang. Pembangunan
Masjid pun diperluas hingga menjadi dua ruangan dan dapat menampung 600-700
jamaah.
Hermanus dan teman-temannya
memfokuskan diri pada upaya memotivasi saudara-saudaranya semuslim untuk
memantapkan akidah dan meningkatkan akhlak, dan khususnya untuk menghadang
upaya pemurtadan kaum Salibis yang dilakukan dengan iming-iming materi. Bila bulan
Ramadhan tiba, hampir semua napi muslim berbahagia karena banyak keluarga
mereka yang membesuk. Mereka bisa bermaaf-maafan dan bersenda gurau dengan
keluarga. Jika melihat itu, tanpa sadar air matanya menetes mengingat tidak ada
lagi keluarganya yang datang dengan senyuman, nasihat dan dukungan seperti yang
dulu mereka lakukan kepadanya. Itu hanya karena ia berpegang teguh pada
keislamannya.
Sesekali pada malam hari yang
hening, ia mencoba mengirim SMS kepada keluarganya seraya mendakwahi mereka
agar berkenan mempelajari Islam yang mereka benci, khususnya surat al-Ikhlash dan al-Maidah ayat 116. Ia
sangat berharap, Allah akan membukakan pintu hidayah kepada mereka. Tetapi lagi-lagi
balasan yang diterimanya adalah caci maki. Walau demikian, ia selalu bermohon
semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka. Ia sangat yakin dengan firman
Allah yang menyatakan, “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan
melainkan Allah dan minta ampunlah bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang
Mukmin, laki-laki dan perempuan,” (QS Muhammad: 19). Dan berharap, suatu saat
nanti Allah akan menurunkan hidayah pada keluarganya untuk bisa menerima Islam
sebagai agamanya.
Disunting dari : Hermanus Paulus Poli Menjemput Hidayah di Penjara
Swaramuslim.net, Journey to Islam, 22 Nov 2003 - 03:24 pm (1.018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar