Rabu, 26 November 2014

Hermanus Paulus Poli, Menjemput Hidayah di Penjara

Hermanus Paulus Poli, dari namanya jelas bahwa ia seorang pemeluk Nashrani, tepatnya Kristen Protestan. Boleh dibilang keluarganya adalah penganut Kristen yang taat saat itu. Ayahnya seorang pensiunan sebuah BUMN yang bergerak di bidang perbankan, dan ibunya seorang arkeolog. Setelah menyelesaikan S1-nya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), jurusan ilmu politik di salah satu universitas negeri di Indonesia, ia berangkat ke Gold Coast University, Australia untuk menyelesaikan S2. Namun baru saja duduk di semester tiga di tahun pertama, kuliahnya terganggu karena ulahnya sendiri. Memang, sejak kuliah ia sudah mencandu narkoba. Ia tinggal bersama tiga orang kawan di apartemennya, yang semuanya pecandu narkoba.
Di kampus, teman-temannya ada juga yang beragama Islam, dan ia tidak pilih-pilih dalam bergaul, termasuk rekan-rekan muslimnya itu. Ia seringkali terlibat diskusi seputar persoalan agama dengan mereka, khususnya membicarakan konsep ketuhanan agama masing-masing. Semula ia tidak menyukai topik diskusi ini, karena sebagai seorang Kristiani, ia merasa minder dan rendah diri. Dalam hati ia mengakui, betapa jelas konsep ketuhanan dalam Islam, yaitu Allah Yang Maha Esa. Sangat jelas bahwa Tuhan itu sebenarnya memang Maha Esa dan Maha Besar.
Setelah berlangsungnya diskusi-diskusi seperti itu, sedikit atau banyak, timbul keraguan dalam hatinya tentang konsep ketuhanan Kristiani yang bisa dikatakan membingungkan. Terkadang penganut Kristiani harus meyakini Yesus Kristus sebagai Tuhan. Namun di sisi lain, Injil sendiri memuat ayat kalau Yesus sendiri menyangkal kalau dirinya adalah Tuhan. Dengan terang-terangan Yesus menyuruh untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Satu (ternuat dalam Yesaya 17: 3). Makin lama keraguannya terhadap ajaran Kristiani, khususnya ketuhanan, tak dapat dielakkan, baginya konsep Trinitas dalam Kristen sangat kacau.
Pada suatu kesempatan, Hermanus mencoba mengambil mushaf al-Qur’an terjemahan milik salah seorang temannya. Semula ia ingin mempelajari isi al-Qur’an tersebut demi mencari kelemahan-kelemahan agama Islam, sehingga ia mempunyai ‘bahan’ untuk berdiskusi dengan mereka. Namun, semakin dalam ia merenungi ayat-ayat al-Qur’an, hatinya semakin takjub terhadap Islam. Betapa jelas konsep Ketuhanan yang dipaparkan Islam melalui surat al-Ikhlash, betapa gamblangnya dialog Allah dan Yesus (Nabi Isa AS) yang diabadikan dalam surat al-Maidah ayat 116. Dan banyak lagi ayat-ayat lainnya.
Terlepas dari ‘pengaruh’ Islam dalam dirinya, akibat pergaulan dengan teman sekamar (se-apartemen) yang pecandu narkoba, kondisinya di Autralia kian hari kian memburuk. Kecanduannya terhadap barang-barang terlarang itu makin sulit dilepaskan, dan kuliahnyapun jadi berantakan. Karena dipikirnya lebih banyak membuang waktu percuma, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta.
Di Jakarta, Hermanus bersama beberapa temannya mendirikan usaha di bidang entertaimen dan lebih mengutamakan bidang promosi (event organizer). Usahanya berkembang pesat, tapi ternyata kecanduannya terhadap putaw sulit untuk dilepaskan. Sebenarnya seluruh keluarganya sudah tahu tentang kebiasaan buruknya ini, tetapi mereka tidak mempermasalahkan. Mereka telah maklum, apalagi ia adalah anak bungsu yang keras kepala. Berkali-kali ia dibawa berobat ke dokter spesialis dan pusat rehabilitasi mental untuk menghilangkan penyakit kecanduan ini, namun hasilnya selalu nihil. Dua atau tiga bulan kemudian selalu saja ia kembali mencandu.
Terlepas dari penyakit kecanduannya, dan juga terlepas dari keraguannya terhadap ajaran Kristen, khususnya masalah Ketuhanan, setiap hari Minggu ia selalu pergi ke gereja bersama keluarganya. Tetapi sayangnya, dalam suasana ‘ibadah’ di gereja, ia tidak menemukan sesuatu yang dapat menyadarkannya dari ‘kebohongan’ gereja. Ia benar-benar merasa hampa, apalagi seorang pendeta yang pernah diminta penjelasan tentang berbagai keraguannya itu tak dapat memberikan jawaban yang dapat memuaskannya.
Suatu hari di tanggal 12 September 2002, sepulang dari membeli putaw, Hermanus tertangkap oleh polisi, dan digiring ke Polres Menteng, Jakarta Pusat. Ia diinterogasi dan akhirnya ditahan. Perasaannya saat itu biasa saja, bahkan tidak ada kekhawatiran sama sekali, karena ia yakin bahwa keluarganya pasti bisa membebaskannya. Mereka memang punya relasi yang luas, baik di kepolisian ataupun di birokrasi. Tetapi semuanya di luar dugaan, usaha keras keluarganya untuk mengeluarkannya dari penjara dan juga dari jeratan hukum ternyata tidak berhasil. Ia pun mulai ketakutan di dalam penjara. Setelah hari ketiga sejak penangkapan, ia ditempatkan dalam sel yang dipenuhi para tahanan. Gelisah, takut, dan marah, semuanya bercampur dalam dada, tetapi dengan uang, ia bisa mengendalikan para preman di dalam penjara.
Saat hari Minggu tiba ada pendeta yang datang untuk kebaktian bagi tahanan yang beragama Kristen, iapun turut serta dalam acara tersebut. Pada malam harinya ia tergerak untuk membaca buku “Malang Nian Orang yang Tidak Shalat”, milik salah seorang napi yang beragama Islam. Anehnya, setelah membaca buku tersebut ia merasakan sesuatu yang lain. Tergerak dalam lubuk hatinya yang terdalam untuk melakukan shalat, walau ia tidak tahu bagaimana caranya. Keesokan harinya ia membaca di dinding sel yang penuh dengan coretan tahanan sebelumnya, “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan apabila kamu berdoa sebanyak kamu bercemas, maka seketika kecemasan itu akan hilang.”
Tanpa pikir panjang, semua buku-buku tentang Islam yang ada di kamar itu dipelajarinya, termasuk tata cara shalat. Ia dapat memahami bagaimana cara shalat dan berwudhu dari sel tahanan lain. Tentu saja para preman yang beragama Kristen jadi marah pada dirinya, tetapi ia tidak mempedulikan mereka. Pikirnya, kalau mau ribut, silakan, ia siap menghadapi mereka. Sejak saat itu ia jadi berani melaksanakan shalat walau belum mengucapkan ‘kesaksian’ dua kalimat syahadat. Ia yakin, Allah SWT akan menerima shalatnya, karena merasa telah ber-syahadat di hadapan Allah SWT. Setelah dua minggu ditahan, masuklah sejumlah tahanan dari Front Pembela Islam (FPI), dan dari merekalah ia belajar lebih banyak tentang Islam, khususnya dari Ustadz Ja’far Umar Shiddiq.
Seminggu kemudian Hermanus dikirim ke rutan Salemba. Ia tetap shalat dan berdoa semoga di sana ia tidak disiksa oleh sesama tahanan, dan bertemu dengan orang-orang yang dapat membimbingnya. Dan syukur Alhamdulillah harapan menjadi kenyataan, ia ditempatkan di Blok C, dan di sana bertemu dengan dua orang yang berakhlak baik. Setiap hari ia mengkaji kitab al-Qur’an terjemahan dan belajar membaca al-Qur’an. Banyak sekali buku-buku yang dijadikannya referensi untuk mendalami pengetahuan Islam, antara lain: Menuju Jalan Ke Surga, Di Balik Rahasia Surat at-Taubah, dan lain sebagainya.
Selama ditahan, setiap hari keluarganya datang menjenguk. Mereka tetap memberikan dorongan dan dukungan kepadanya, serta memperlihatkan perhatian yang serius terhadap masalah yang dihadapinya. Akhirnya diputuskan hukumannya selama satu tahun enam bulan, jauh lebih ringan dari tuntutan sebelumnya, yakni empat tahun penjara.
Ketika ia merasakan keimanannya kepada Islam makin kuat, ia bermaksud mengutarakan kepada keluarganya tentang identitas dirinya sebagai seorang Muslim. Tetapi begitu mengetahui, mereka sangat marah, ia dimaki-maki, dikatakan telah terpengaruh setan, bodoh, tolol dan diperintahkan harus kembali ke agama Kristen. Mereka mengancam tidak akan membesuk dan tidak akan menyuplai apapun. Padahal ‘biaya hidup’ di dalam penjara sangatlah besar, untuk makan, bayaran wajib pintu, uang kunci mingguan, dan lain-lain sebagainya. Apabila tidak memenuhi semua itu, ia akan menemui masalah besar dengan para preman. Ia menjadi bimbang lagi, dan dalam kegalauannya, ia kembali terjebak memakai putaw. Tetapi bagi keluarganya, hal itu bukanlah masalah besar, dan juga tidak masalah harus tetap menyuplai kebutuhannya di penjara asal ia mau kembali ke gereja dan menyatakan dirinya sebagai seorang Kristiani.
Ternyata keimanannya tidak begitu saja tergoyahkan, tetapi karena terlanjur memakai putauw dalam kebimbangannya itu, ia terpaksa ‘berhadapan’ dengan para bandar putaw di penjara. Mereka memaksanya untuk membeli putaw mereka, dan sempat terjebak lagi sebagai pecandu. Tapi itu hanya berlangsung selama dua minggu, dan Allah menyadarkan dirinya. Ia dengan tegas menolak ‘memakai’ lagi walau mereka mengancamnya. Kemudian ia berpikir untuk ‘hijrah’ dari penjara tersebut ke penjara lainnya, agar ibadahnya lebih tenang dan tidak terganggu dengan ulah para preman dan bandar putaw. Untuk itu, terpaksa ia menyogok bagian pendaftaran untuk memasukkan namanya dalam daftar nama-nama napi yang akan dipindahkan ke LP Tangerang.
Dua hari kemudian namanya dipanggil untuk dikirim ke Lapas kelas I Tangerang. Setelah tiba di Tangerang, ia menelepon keluarganya untuk menginformasikan kepindahannya ke penjara Tangerang. Tetapi saat menelepon itu ia juga menegaskan kepada mereka bahwa ia akan tetap menjadi seorang Muslim, yang meyakini bahwa Allah itu Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan Muhammad SAW adalah Rasulullah (Utusan Allah). Keesokan harinya, mereka datang ‘membesuk’, tetapi dengan tujuan yang lain. Begitu bertemu, ia langsung ditempeleng dan diludahi, bahkan hpnya dirampas. Sejak itu, mereka benar-benar tidak mau menyuplai apapun yang menjadi kebutuhannya di penjara. Bahkan mereka mengharapkan agar ia mati saja di dalam penjara agar tidak membuat malu keluarga.
Memang, ketika keimanan telah begitu merasuk ke dalam jiwa, halangan apapun memang tidak akan bisa menggoyahkannya. Tekadnya sudah bulat, ia akan tetap pada komitmennya berada di jalan Allah. Di LP Tangerang kehidupannya sangat begitu sulit tanpa bantuan keluarganya, ia bagai anak hilang. Terkadang ia bingung, bagaimana harus mandi tanpa sabun, pasta gigi dan shampo. Makannyapun apa adanya, nasi putih dan sayur, yang tidak layak dimakan manusia normal. Minumannya pun air mentah tanpa dimasak sama sekali. Ia berusaha meminimalisasi penderitaannya dengan bekerja sebagai tukang cuci pakaian orang. Tapi tidak setiap hari ia mendapat order itu. Sekali mencuci ia dibayar Rp 200 sampai Rp 3000, dan itu hanya cukup untuk makan sehari saja. Ia ditawari bekerja pada beberapa orang Nigeria dan Tionghoa, namun konsekuensinya ia harus siap selama 10-12 jam di kamar mereka dengan mengerjakan apa pun yang mereka inginkan. Memang upahnya cukup lumayan, namun waktunya untuk Allah akan hilang. Karena itulah ia memutuskan untuk menolak tawaran kerja tersebut, padahal mereka sangat senang, karena ia bisa berbahasa Inggris dan Perancis.
Hermanus sadar, sebagai seorang muslim, ia tidak boleh menggantungkan hidupnya kepada orang kafir. Ia yakin bahwa rezeki sudah ditentukan, karena itu ibadah kepada Allah menjadi prioritas utamanya. Shalat, mengaji dan memperdalam agama menjadi santapannya setiap hari. Walau begitu, ia sadar bahwa cobaan memang tidak berhenti sampai di situ. Tekanan-tekanan mental dari orang-orang non-Muslim, khususnya dari etnis tertentu terhadap dirinya berlanjut di penjara ini. Beberapa petugas sangat sinis kepadanya karena berbeda agama denganya. Celakanya lagi, banyak sekali orang muslim yang tidak taat di penjara ini. Perintah berjamaah hanya diterapkan dalam shalat, tetapi tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, banyak sekali orang muslim yang murtad karena tidak tahan lapar dan harus ke gereja (dalam LP) demi untuk mendapatkan sekotak makan, sabun, pasta gigi, sampho dan obat-obatan.
Seiring berjalannya waktu, gerakan dakwah mulai muncul di dalam LP. Beberapa napi mencoba membuat kegiatan-kegiatan untuk memakmurkan masjid dan kegiatan sosial bernafaskan Islam, seperti membuat dapur umat dan merayakan hari-hari besar Islam. Dalam kesempatan ini ia bergabung dengan para aktivis dakwah, yakni membuat drugs conselling (bimbingan untuk menghindari narkoba, red) untuk para pecandu narkoba. Ceramah interaktif tentang narkoba juga diberikan oleh Prof Dr Dadang Hawari. Dan akhirnya di LP ini berdiri Pondok Pesantren At-Tawwabin yang santrinya berasal dari kalangan narapidana. Masjid Baitus Salam yang berada dalam LP juga penuh sesak dengan para jamaah. Setiap datang waktu shalat, adzan selalu berkumandang. Pembangunan Masjid pun diperluas hingga menjadi dua ruangan dan dapat menampung 600-700 jamaah.
Hermanus dan teman-temannya memfokuskan diri pada upaya memotivasi saudara-saudaranya semuslim untuk memantapkan akidah dan meningkatkan akhlak, dan khususnya untuk menghadang upaya pemurtadan kaum Salibis yang dilakukan dengan iming-iming materi. Bila bulan Ramadhan tiba, hampir semua napi muslim berbahagia karena banyak keluarga mereka yang membesuk. Mereka bisa bermaaf-maafan dan bersenda gurau dengan keluarga. Jika melihat itu, tanpa sadar air matanya menetes mengingat tidak ada lagi keluarganya yang datang dengan senyuman, nasihat dan dukungan seperti yang dulu mereka lakukan kepadanya. Itu hanya karena ia berpegang teguh pada keislamannya.
Sesekali pada malam hari yang hening, ia mencoba mengirim SMS kepada keluarganya seraya mendakwahi mereka agar berkenan mempelajari Islam yang mereka benci, khususnya surat al-Ikhlash dan al-Maidah ayat 116. Ia sangat berharap, Allah akan membukakan pintu hidayah kepada mereka. Tetapi lagi-lagi balasan yang diterimanya adalah caci maki. Walau demikian, ia selalu bermohon semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka. Ia sangat yakin dengan firman Allah yang menyatakan, “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan minta ampunlah bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan,” (QS Muhammad: 19). Dan berharap, suatu saat nanti Allah akan menurunkan hidayah pada keluarganya untuk bisa menerima Islam sebagai agamanya.

Disunting dari : Hermanus Paulus Poli Menjemput Hidayah di Penjara
Swaramuslim.net, Journey to Islam,  22 Nov 2003 - 03:24 pm  (1.018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar