Rabu, 07 Mei 2014

Yusuf Islam (Cat Stevens), Menjelajah Keyakinan Menuju Islam

Berpetualang Dalam Keyakinan
Para pecinta dan penikmat musik pop dunia, khususnya untuk era 60-70an pastilah mengenal nama Cat Stevens, dengan salah satu lagunya yang terus melegenda sampai saat ini, “Morning Has Broken”. Lahir di Kota London, di jantung Negara Inggris, salah satu negara paling modern saat itu, Cat Steven tumbuh dalam lingkungan kristen yang sangat kental. Pendidikannya diselesaikan pada sekolah-sekolah Katholik. Ia sangat memahami ajaran kehidupan dan ajaran agama yang dipeluknya. Ia mengimani adanya Tuhan, Isa Almasih sebagai ‘anak Tuhan’, takdir, serta tuntunan jalan yang baik dan buruk. Gereja banyak mengajarkan dan menekankan pada dirinya untuk percaya kepada Allah, sedikit pada Isa Almasih dan mengurangi sedikit dari kepercayaan kepada roh kudus.
Sebagai garda terdepan kekuatan kristen sejak terjadinya perang Salib, yakni ketika Raja Richard, The Lion Heart menjadi komandan utamanya, Negara Inggris juga menjadi pioner liberalisasi dan kapitalisasi sejak terjadinya revolusi industri. Akibatnya, pola fikir masyarakat  menjadi sempit dan picik, segala sesuatunya lebih banyak diukur dengan materi semata-mata. Pada waktu itu mereka mengajarkan pada Cat Stevens dan generasinya, bahwa kekayaan adalah suatu kehormatan dan hak yang hakiki, sedang kemiskinan adalah suatu kekalahan total dan memalukan.
Akibat didikan yang kontradiktif seperti itu, ia menciptakan falsafah hidupnya sendiri, bahwa antara kehidupan (sehari-hari) tidak ada hubungannya dengan agama (pola fikir sekuler). Ia mewujudkan falsafahnya itu dengan mencontoh Amerika, ia dan orang-orang di generasinya beranggapan bahwa Amerika adalah suatu lambang kekayaan sekaligus kebebasan (kemerdekaan) yang nyata. Dan negara-negara dunia ke tiga di Asia dan Afrika adalah contoh dari kemiskinan, kesengsaraan, keterbelakangan, kebodohan dan kesesatan. Karena itulah Cat Stevens mencari jalan untuk menjadi kaya agar bisa hidup terhormat dan bahagia.
Mulailah ia merintis jalan untuk hidup sukses, dan ketika itu cara yang paling murah adalah dengan mempunyai gitar. Dengan bakat dan ketrampilannya, ia mulai menciptakan syair dan irama lagu melalui gitar, yang ternyata mendapat sambutan yang luar biasa. Dengan cepat namanya dikenal masyarakat, dan saat berusia 18 tahun ia telah mencetak delapan album lagu. Mulailah ia melakukan show di berbagai penjuru dunia, dan mengumpulkan banyak ketenaran, pujian, sekaligus kekayaan yang terus mengalir masuk ke koceknya.
Tetapi pada titik puncaknya itu, ia sering melihat keadaan mereka yang di bawah, yang miskin dan hidup dalam kesulitan, dan ia menjadi gamang dan khawatir. Ia takut kehilangan semuanya itu dan menjadi kaum yang di bawah. Sejak itu perasaannya menjadi tidak tenang, rasa was-was selalu merasuk dalam jiwanya. Dan sejak saat itu pula, ia mulai menenggak minuman keras hampir setiap harinya, untuk ‘menanggulangi’ kecemasan jiwanya. Minuman beralkohol itulah yang memberi semangat dalam karier dan hidupnya. Pada waktu itu ia merasa sepertinya semua orang. memakai topeng, mereka bersikap munafik untuk bisa menjual ‘dirinya’, untuk bisa mendapatkan keuntungan sesaat agar tetap hidup.
Ketika menyadari semua itu adalah sesuatu yang merugikan dan kejam, ia mulai membenci kehidupannya sendiri. Sedikit atau banyak, didikan rohaniah (kristen tentunya) ketika masih kecil mengusik hatinya. Karena itulah ia mulai menjalani kehidupan menyendiri, meninggalkan gegap gempita dunia entertainment yang telah memberinya banyak kekayaan dan ketenaran. Jiwanya terasa sakit tak terkendalikan, dan itu berdampak pada fisiknya. Ia dipindahkan ke rumah sakit dan ternyata ia mengidap penyakit TBC. Selama tinggal di rumah sakit, ia banyak memperoleh kebaikan karena mereka mengajarkan pada dirinya, bagaimana caranya berfikir secara positip, menatap kehidupan dengan cara yang lebih baik.
Setelah itu datang perasaan beriman kepada Tuhan, tetapi pengajaran gereja, baik yang diterimanya ketika masih kecil atau penjabaran para pendeta saat itu, tidak memberikan penjelasan tentang siapa Tuhan itu sebenarnya, yang bisa memuaskan perasaannya. Akhirnya fikirannya lumpuh untuk menjelaskan siapa Tuhan, atau apa itu Tuhan seperti yang pernah disebut-sebut di gereja ketika ia masih kecil dahulu.
Bagaimanapun juga, ketika ‘sentuhan dan panggilan’ Ilahiah untuk mengenal-Nya datang pada seseorang, ia tidak akan pernah berhenti mencari sampai memperoleh jalan memahami-Nya. Hal itu juga yang terjadi pada Cat Stevens, ketika akal dan logikanya lumpuh dan hanya menemui jalan gelap, ia mulai mengalihkan pemikirannya ke suatu cara hidup yang baru, ia mulai membaca berbagai macam kepercayaan dan pemikiran ketimuran, yang lebih mengedepankan kepada perasaan dan renungan daripada akal dan logika.
Ketika ia ‘kembali’ ke dunia nyata, muncul suatu perasaan akan adanya suatu ‘Tujuan’ tetapi ia masih tidak memahami apa tujuan yang datang padanya itu. Tanpa disadarinya, ia seringkali hanya duduk menyendiri dalam lamunan yang panjang. Mulailah ia berfikir untuk mencari kebahagiaan yang tak pernah didapatkan dari kekayaan, kejayaan atau kemashuran yang pernah diraihnya,  atau dirasakannya dalam kehidupan gereja.
Ia memilih untuk memeluk agama Budha dan juga mulai mendalami pemikiran Cina. Dari mempelajari dan memahami akan apa yang terjadi, ia berharap memperoleh kebahagiaan. Dengan adanya petunjuk dan isyarat akan terjadinya suatu peristiwa, ia berharap dapat menghindar dari suatu kerugian, kehancuran atau kejahatan. Tetapi berlalunya waktu, ia menjadi seorang yang berserah kepada keadaan dan mempercayai bintang-bintang. Ia juga percaya para peramal, tetapi kemudian ia merasa bahwa semua itu ternyata omong kosong belaka.
Semua yang dipelajari dan dijalaninya itu ternyata belum ‘memuaskan’ dahaganya, dan ia merasa belum sampai kepada ‘tujuan’ yang diharapkannya. Ia berpindah keyakinan lagi, dan ia memilih untuk menjadi seorang yang berfaham komunis. Logikanya menduga bahwa kebahagiaan akan terwujud jika kekayaan dibagi rata ke seluruh manusia di dunia ini, sebagaimana konsep komunisme, ‘Sama Rata Sama Rasa’. Tetapi lagi-lagi ia merasakan faham ini tidak selaras dengan naluri kemanusiaan, yakni keadilan. Keadilan itu bukanlah dibagi samarata, tetapi setiap orang berhak atas sesuatu sesuai dengan jerih payah atau usahanya. Bukannya setelah seseorang bersusah payah mendapatkan suatu hasil, kemudian dibagi rata dengan orang. yang. tidak bersusah payah atau bermalas-malasan saja untuk mendapatkan itu.
Akhirnya ia berkesimpulan (ketika itu belum mengenal Islam), bahwa tidak ada ajaran yang bisa memuaskan dahaga dan pencariannya, dan ia kembali pada kepercayaannya, yakni ke gereja. Bagaimanapun juga gereja masih lebih baik dari semua yang pernah ditemukan dan dipelajarinya selama dalam pencariannya itu. Ia kembali pada dunia musik dan mulai dari bawah lagi dengan ketetapan hati bahwa Katholik inilah agamanya dan tidak ada agama lain. Ia berusaha ikhlas dengan keyakinannya itu, dan berusaha memperbaiki musik agar menjadi sesuatu yang terbaik. Ia mengambil satu pedoman dari ajaran gereja, yaitu : Jika ingin mencapai kedudukan seperti Tuhan, maka berusahalah untuk ikhlas menyelesaikan suatu pekerjaan.

Mulai Mengenal dan Memeluk Islam
Suatu hari di tahun 1975 terjadilah suatu keajaiban, tiba-tiba saja kakaknya yang tertua memberinya hadiah kitab Al-Qur‘an. Walau ia tidak mengerti bahasa Arab, tetapi seolah-olah ada daya tarik yang membangkitkan kembali keinginannya untuk mencari ‘tujuan’ yang belum ditemukannya itu. Ia mencari seorang penterjemah yang bisa menjelaskan, atau memberitahukan padanya, apa isi dari kitab Al Qur’an itu. Dan itulah pertama kalinya ia berfikir tentang Islam.
Sebenarnya bukannya ia tidak pernah mendengar tentang agama Islam sama sekali, tetapi Islam dalam pandangan orang-orang Barat saat itu adalah faham rasialis, dan kaum muslimin hanyalah orang-orang asing yang berasal dari Turki dan Arab walaupun mereka adalah warga negara di Eropa. Orang tuanya berasal dari Yunani, dan pada umumnya, orang-orang Yunani sangat membenci orang muslim Turki. Karena itu sudah sepantasnya kalau ia membenci agama dan keyakinan orang-orang Turki. Tetapi setelah melihat dan memperhatikan ayat-ayat dalam Al-Qur‘an yang telah diterjemahkan itu, ia tidak menemukan adanya larangan bagi siapapun untuk mengetahui isi dari Qur‘an itu sendiri.
Ketika pertama kali membuka lembaran Al-Qur‘an, yang diawali dengan Basmalah, ia langsung terpesona. Disana jelas tercantum nama ‘Allah’ dan dilanjutankan dengan ‘identitas’ lainnya, ‘Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’. Kalimat pendek itu seperti memberikan sepercik kesegaran pada jiwanya yang selama ini gersang. Pada ayat selanjutnya dari surat Al Fatihah itu, yakni Alhamdu lillaahi rabbil ‘alamin, yang artinya : Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, sekali lagi ia memahami ‘identitas’ ketuhanan itu, dan ia merasakan diri dan jiwanya yang teramat kecil dan lemah, di hadapan Allah SWT.
Dahulu dalam kehidupannya di gereja, mereka mengajarkan bahwa Allah adalah satu dan terbagi menjadi tiga. Saat itu muncul pertanyaan bagaimana terjadinya, tetapi ia tak tahu bagaimana penjelasan yang bisa diterima logikanya. Mereka juga mengatakan bahwa Allah kaum Nasrani itu berbeda dengan Allah kaum Yahudi, dan hal itu tidak bisa diterima akal sehatnya. Bagaimana jadinya kehidupan kalau dua Allah yang berbeda itu ‘bertempur’ berebut kekuasaan, seperti halnya dua raja di dunia yang berperang saling memperebutkan wilayah?
Tetapi baru saja dengan dua ayat Al Qur’an yang dibacanya, seakan-akan ia telah memperoleh jawaban atas berbagai pertanyaan dan kebimbangan tentang ketuhanan, yang menggelayutinya selama bertahun-tahun. Ayat demi ayat selanjutnya, memberinya kegairahan untuk terus membaca dan  mempelajarinya. Semua penolakan dan ‘pemberontakan’ yang sempat membawanya kepada ajaran komunis seolah terpuaskan dengan membaca Al Qur’an tersebut.
Dalam pandangan Cat Stevens, Al-Qur‘an sebagai suatu ‘kitab’, tampak asing dan berbeda dengan kitab-kitab yang pernah dipelajarinya. Didalamnya tidak adanya paragraf atau alenia, atau juga penjelasan seperti yang terdapat pada Al Kitab/Bibel (Perjanjian Lama, Perjanjian Baru) misalnya. Pada Al-Qur‘an tidak tercantum nama pencatat atau penulisnya, semua kalimat dan maksudnya tersusun secara rapi, tidak ada yang saling bertentangan satu sama lainnya. Di semua tempat dalam Al Qur’an menyatakan bahwa Allah Maha Esa. Bukan hanya satu utusan saja, yakni Nabi Muhammad SAW, tetapi semua nabi-nabi yang pernah diutus Allah disebutkan di dalamnya. Mereka semua yang dikasihi Allah dan sejajar derajatnya di sisi-Nya, tidak ada perbedaan di antara mereka. Dari sinilah ia makin yakin dan percaya bahwa Al Qur’an benar-benar wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul/ utusan-Nya
Setelah membaca dan mempelajari Al-qur‘an selama setahun, ia mulai mencari cara bagaimana ia memahami isinya. ‘Kegairahannya’ untuk belajar membuatnya merasakan bahwa hanya dia sajalah seorang muslim di dunia saat itu, apalagi dengan situasi ‘modernisasi’ kota London. Pada akhirnya, setelah ia makin mantap untuk memeluk Islam, ia pergi ke masjid di London dan mengucapkan dua kalimah syahadah, kesaksian bahwa tidak Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Ia mengganti, atau memperoleh nama Islami menjadi Yusuf Islam.
Tetapi begitu kesaksian itu meluncur dari mulutnya, ia merasakan bahwa hal itu adalah ajaran yang berat. Bukan kalimat yang ringan semudah ia mengucapkannya, tetapi menuntut suatu tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas sebagai seorang muslim. Di sisi lain, ia merasa baru terlahir kembali, walaupun segudang beban dan tantangan tampak menghadang di depan mata. Tentulah situasi masyarakat London sangat berbeda dalam menyikapi seorang muallaf seperti dirinya, dibandingkan masyarakat Indonesia misalnya, yang Islam menjadi agama mayoritas penduduknya. Apalagi sebelumnya ia telah dikenal sebagai ‘publik figure’ walau hanya di bidang musik, dalam level yang mendunia.
Cat Stevens, atau kini menjadi Yusuf Islam, memperoleh hidayah karena cukup intensif mempelajari Al-Qur’an, tetapi ketika ia bergaul dengan kaum muslimin lainnya terkadang ia mendapati kenyataan yang berbeda dengan apa ‘tertanam’ di dalam pikirannya. Beberapa dari mereka menunjukkan pada dirinya tentang apa itu Islam tetapi sepertinya ‘berbeda’ dengan gambaran ‘ideal’ yang terlanjur tertanam dalam dirinya ketika mempelajari Al Qur’an, sehingga terkadang ia mengabaikannya. Ketika ia lebih jauh mengamati, ternyata hal itu disebabkan kebanyakan dari kaum muslimin itu lebih banyak memperturutkan hawa nafsu dan kesenangan duniawiah semata. Pengaruh negatif dari pemberitaan dunia barat dan juga beberapa negara muslim ikut mengaburkan hakikat ajaran Islam. Tanpa disadari mereka banyak mendukung pada orang-orang atau golongan atau gerakan yang justru merendahkan Islam.
Seperti halnya ketika ia ‘terpecik’ hidayah untuk mempelajari Al Qur’an, kini ia terdorong untuk mempelajari peri kehidupan tokoh sentral salam Islam Nabi Muhammad SAW, dan dari sinilah ia mendapatkan “inti” dari ajaran Islam. Sejak saat itu ia mengetahui bahwa ‘jalur’ yang maha berharga dalam kehidupan ini adalah Rasulullah SAW dan sunnah-sunnahnya. Keasyikannya dalam mempelajari jalan hidup Nabi SAW membuatnya terlupa akan dunia yang membesarkannya, dunia musik. Ketika suatu hari ia menanyakan pada seorang ulama, apakah ia boleh melanjutkan kehidupannya dalam dunia musik? Beliau menasehatkan untuk berhenti saja, katanya, ”Musik akan mengambil sebagian besar waktumu untuk berdzikir kepada Allah, dan hal itu adalah sesuatu yang amat berbahaya bagimu.”
Yusuf Islam mematuhi nasehat itu, ia benar-benar meninggalkan dunia musik dan terjun dalam dunia dakwah Islamiah. Semua kekayaan dan hartanya yang telah terhimpun sangat banyak selama berkarir dalam dunia entertainment itu, kini digunakannya untuk merambah jalan dakwah, jalan amar ma’ruf nahi munkar, jalan menyebarkan Islam, dan jalan menuju kepada Allah SWT.

Disunting dari : Yusuf Islam : Bagaimana saya memeluk Islam
Swaramuslim.net, Journey to Islam, 28 Apr 2005 - 7:34 am (1.074)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar