Rabu, 26 November 2014

Ki Manteb Sudharsono, Keajaiban Mencium Hajar Aswad

Bagi orang Indonesia, khususnya yang mempunyai minat pada kebudayaan Jawa, tentulah nama Ki Manteb Sudharsono tidak asing lagi. Ia identik dengan penampilannya yang mantap dalam memainkan wayang kulit, dan termasuk dalang yang digandrungi dan sangat laris, jadwal pentasnya sangat padat. Walau bisa dikatakan ‘mewarisi’ pekerjaan wali songo, khususnya Sunan Kalijaga yang berdakwah menyebarkan Islam dengan pendekatan budaya Jawa, ternyata pada awalnya Ki Manteb Sudarsono bukanlah seorang muslim, tetapi beragama Budha. Basis cerita wayang memang berasal dari India dengan latar belakang agama Hindu, tetapi atas ‘kreativitas’ wali songo, wayang kulit dengan ‘penampilannya’ yang khas menjadi ‘identik’ dengan Islam, termasuk munculnya kisah-kisah ‘kembangan’ (variasi) seperti Jamus Kalimosodo, tokoh punakawan, Dewaruci dll.
Walau bukan seorang muslim, tetapi lingkungan pekerjaannya Ki Manteb kebanyakan beragama Islam, dari para niyaga (penabuh gamelan), sinden, dan lain-lainnya, termasuk juga istrinya. Ia mendapatkan dorongan untuk memeluk Islam dari Gatot Tetuki, putra keduanya dari istrinya yang kedua. Sebelumnya ia tidak mau memeluk Islam, karena menurutnya agama Islam itu berat, dan ia tidak mau ikut-ikutan saja.
Ketika usai menghitankan Gatot, putranya tersebut minta diberangkatkan umrah tetapi bersama-sama dengan dirinya, sang ayah. Hati Ki Manteb jadi tersentuh, dan ia menganggapnya sebagai panggilan Allah. Ia merasa seperti diingatkan dan dibangunkan dari tidur panjang yang selama ia membuainya. Langsung saja ajakan tersebut diterimanya, sekaligus ia mempersiapkan diri untuk memeluk Agama Islam. Bagaimana ia akan berangkat Umrah jika ia tidak menjadi seorang muslim dahulu??
Pada hari yang telah ditetapkan, Ki Manteb mengundang Kiai Ali Darokah (Ketua MUI Solo), H. Amir Ngruki, H. Alwi, dan kaum muslimin di sekitar tempat tinggalnya untuk menjadi saksi keislamannya. Setelah itu, sesuai dengan ajakan putranya, ia melaksanakan umrah pada September 1995. Pada tahun berikutnya, yakni di bulan April/Mei 1996, ia berkesempatan menunaikan ibadah haji. Banyak sekali manfaat yang diperolehnya dari pengalaman-pengalaman tersebut, dan kesemuanya itu menambahkan kedewasaan berpikir dan pengendalian dirinya.
Pada waktu beribadah haji terebut, Ki Manteb mengalami suatu kejadian sangat aneh. Usai melaksanakan rangkaian ibadah haji di Mekah dan bersiap ke Madinah, sesudah Thawaf Wada' ia ingin sekali mencium Hajar Aswad, tetapi mana mungkin? Ka’bah dan pelatarannya telah menjadi lautan manusia, hampir tidak mungkin mendekati Hajar Aswad. Tetapi tiba-tiba, entah dari mana datangnya, muncul seorang anak kecil berpakaian khas Arab ngawe-awe (mengajak sambil melambaikan tangan) kearahnya. Setelah Ki Manteb menghampiri, anak kecil itu berkata, "Ahlan...ahlan..." (selamat datang, selamat datang).
Seperti ada tarikan kuat yang ia tidak mampu membendungnya, Ki Manteb berjalan mengikutinya, yang berjalan merunduk karena banyak orang. Anak kecil itu seperti menunjukkan jalan, belok kanan dan kiri berkali-kali, sampai akhirnya tiba di depan Hajar Aswad. Ia dapat mencium Hajar Aswad sepuas-puasnya. Ia menangis penuh bahagia dan bersyukur sekali atas pertolongan anak kecil itu. Beberapa saat kemudian ia teringat pada anak itu, dan berniat memberikan uang 50 real yang ada di kantongnya. Tetapi begitu menengok kanan kiri, anak kecil itu sudah tidak ada lagi. Kalau lari tidak mungkin karena begitu padatnya. Dan tentang siapa dan ke mana perginya anak kecil itu tetap menjadi misteri dalam kehidupannya.
Setelah memeluk Islam dan beribadah haji, hubungan Ki Manteb dengan siapa pun tetap terjalin baik seperti sebelumnya. Demikian pula dengan para niyaga/pengrawit (penabuh gamelan) rombongan wayang kulit. Sebagian besar niyaga/pengrawit memang sudah beragama Islam, hanya tiga orang yang belum Islam. Dalam hal ini ia tidak ingin mempengaruhi atau memaksanya, dibiarkannya saja sesuai dengan keyakinan mereka. Menurutnya, dalam memeluk Islam tidak boleh ada pemaksaan.
Sebelum memeluk Islam, jika tidak mendalang seminggu saja, ia selalu merasa was-was, "Aku nek ra payu, piye?"
Maksudnya, “Kalau saya sudah tidak laku lagi, bagaimana?” Begitu perasaannya ketika itu. Tetapi setelah keislamannya, perasaan seperti itu sudah tidak ada lagi. Ia berusaha untuk taat menjalankan shalat. Hasilnya, ia lebih dapat mengendalikan diri dan selalu berpikir positif ke pada Allah. Fikirnya, “Kalau memang sudah tidak ada rezeki lagi buat saya, tentu sudah waktunya Allah memanggil saya. Mengapa pula harus bingung?
Intinya, pikirannya sudah sumeleh. Dan pelahan tapi pasti, semua keluarganya mengikuti jejaknya memeluk Islam.
Setelah memeluk Islam, ia merasakan keluarganya makin harmonis dan tenteram. Tidak suka bertengkar, dan tidak ada suasana saling mencurigai. Beberapa kali ia diminta mengisi pengajian oleh masyarakat, dan semampunya ia penuhi. Bukan dengan maksud menggurui, tetapi ia merasa itu sebagai kewajiban seorang muslim. Apalagi sebagai dalang wayang kulit, sedikit banyak ia mengetahui tentang filosofi cerita wayang, yang sebelumnya digunakan Wali Songo sebagai media dakwah. Dalam pengajian, seringkali ia menceritakan sejarah hidupnya yang dahulu tidak karu-karuan, mbejujak (rusak).
Dari pengajian yang disampaikannya, ada beberapa orang yang akhirnya mengikuti jejaknya, yaitu memeluk agama Islam. Ketika berlangsung pengajian, terkadang ada jamaah yang bertanya, apa kalau ceramah itu ia mendapatkan uang saku? Dengan jujur dijawabnya, “Tidak, kalau mau cari-cari uang, itu sudah saya dapatkan dari mendalang!!”
Setelah menjadi muslim, ia harus lebih banyak belajar mendalami Islam. Dalam hal ini, di rumahnya di Karang anyar, ia selalu mendatangkan mubaligh setiap bulannya, seperti Kiai Ali Darokah, H.Amir, H. Alwi dan yang lainnya, dan mengundang masyarakat di sekitarnya. Setelah pengajian selesai, ia meneruskannya dengan pentas wayang yang selalu disisipinya dengan pesan-pesan dakwah. Setelah Islamnya, ia terobsesi dengan Wali Songo yang menjadikan wayang kulit sebagai media dakwah. Kali ini ia ingin menjadi ‘pewaris’ Wali Songo, dan menjadikan pekerjaan yang telah ditekuninya selama bertahun-tahun sebagai media dakwah.

Disunting dari : Ki Manteb Sudharsono : Sudah Mantap dalam Islam
Swaramuslim.net, Journey to Islam,  01 Nov 2003 - 11:07 pm  (1.006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar