Bagi orang Indonesia ,
khususnya yang mempunyai minat pada kebudayaan Jawa, tentulah nama Ki Manteb Sudharsono
tidak asing lagi. Ia identik dengan penampilannya yang mantap dalam memainkan
wayang kulit, dan termasuk dalang yang digandrungi dan sangat laris, jadwal
pentasnya sangat padat. Walau bisa dikatakan ‘mewarisi’ pekerjaan wali songo,
khususnya Sunan Kalijaga yang berdakwah menyebarkan Islam dengan pendekatan
budaya Jawa, ternyata pada awalnya Ki Manteb Sudarsono bukanlah seorang muslim,
tetapi beragama Budha. Basis cerita wayang memang berasal dari India dengan
latar belakang agama Hindu, tetapi atas ‘kreativitas’ wali songo, wayang kulit
dengan ‘penampilannya’ yang khas menjadi ‘identik’ dengan Islam, termasuk
munculnya kisah-kisah ‘kembangan’ (variasi) seperti Jamus Kalimosodo, tokoh
punakawan, Dewaruci dll.
Walau bukan
seorang muslim, tetapi lingkungan pekerjaannya Ki Manteb kebanyakan beragama
Islam, dari para niyaga (penabuh gamelan), sinden, dan lain-lainnya, termasuk
juga istrinya. Ia mendapatkan dorongan untuk memeluk Islam dari Gatot Tetuki, putra
keduanya dari istrinya yang kedua. Sebelumnya ia tidak mau memeluk Islam,
karena menurutnya agama Islam itu berat, dan ia tidak mau ikut-ikutan saja.
Ketika usai
menghitankan Gatot, putranya tersebut minta diberangkatkan umrah tetapi
bersama-sama dengan dirinya, sang ayah. Hati Ki Manteb jadi tersentuh, dan ia menganggapnya
sebagai panggilan Allah. Ia merasa seperti diingatkan dan dibangunkan dari
tidur panjang yang selama ia membuainya. Langsung saja ajakan tersebut diterimanya,
sekaligus ia mempersiapkan diri untuk memeluk Agama Islam. Bagaimana ia akan
berangkat Umrah jika ia tidak menjadi seorang muslim dahulu??
Pada hari yang
telah ditetapkan, Ki Manteb mengundang Kiai Ali Darokah (Ketua MUI Solo), H.
Amir Ngruki, H. Alwi, dan kaum muslimin di sekitar tempat tinggalnya untuk
menjadi saksi keislamannya. Setelah itu, sesuai dengan ajakan putranya, ia
melaksanakan umrah pada September 1995. Pada tahun berikutnya, yakni di bulan
April/Mei 1996, ia berkesempatan menunaikan ibadah haji. Banyak sekali manfaat
yang diperolehnya dari pengalaman-pengalaman tersebut, dan kesemuanya itu
menambahkan kedewasaan berpikir dan pengendalian dirinya.
Pada waktu
beribadah haji terebut, Ki Manteb mengalami suatu kejadian sangat aneh. Usai
melaksanakan rangkaian ibadah haji di Mekah dan bersiap ke Madinah, sesudah Thawaf
Wada' ia ingin sekali mencium Hajar Aswad, tetapi mana mungkin? Ka’bah dan
pelatarannya telah menjadi lautan manusia, hampir tidak mungkin mendekati Hajar
Aswad. Tetapi tiba-tiba, entah dari mana datangnya, muncul seorang anak kecil
berpakaian khas Arab ngawe-awe (mengajak sambil melambaikan tangan) kearahnya. Setelah
Ki Manteb menghampiri, anak kecil itu berkata, "Ahlan...ahlan..." (selamat
datang, selamat datang).
Seperti ada
tarikan kuat yang ia tidak mampu membendungnya, Ki Manteb berjalan mengikutinya,
yang berjalan merunduk karena banyak orang. Anak kecil itu seperti menunjukkan
jalan, belok kanan dan kiri berkali-kali, sampai akhirnya tiba di depan Hajar
Aswad. Ia dapat mencium Hajar Aswad sepuas-puasnya. Ia menangis penuh bahagia
dan bersyukur sekali atas pertolongan anak kecil itu. Beberapa saat kemudian ia
teringat pada anak itu, dan berniat memberikan uang 50 real yang ada di
kantongnya. Tetapi begitu menengok kanan kiri, anak kecil itu sudah tidak ada
lagi. Kalau lari tidak mungkin karena begitu padatnya. Dan tentang siapa dan ke
mana perginya anak kecil itu tetap menjadi misteri dalam kehidupannya.
Setelah memeluk
Islam dan beribadah haji, hubungan Ki Manteb dengan siapa pun tetap terjalin baik
seperti sebelumnya. Demikian pula dengan para niyaga/pengrawit (penabuh gamelan)
rombongan wayang kulit. Sebagian besar niyaga/pengrawit memang sudah beragama
Islam, hanya tiga orang yang belum Islam. Dalam hal ini ia tidak ingin
mempengaruhi atau memaksanya, dibiarkannya saja sesuai dengan keyakinan mereka.
Menurutnya, dalam memeluk Islam tidak boleh ada pemaksaan.
Sebelum memeluk
Islam, jika tidak mendalang seminggu saja, ia selalu merasa was-was, "Aku
nek ra payu, piye?"
Maksudnya, “Kalau
saya sudah tidak laku lagi, bagaimana?” Begitu perasaannya ketika itu. Tetapi
setelah keislamannya, perasaan seperti itu sudah tidak ada lagi. Ia berusaha untuk
taat menjalankan shalat. Hasilnya, ia lebih dapat mengendalikan diri dan selalu
berpikir positif ke pada Allah. Fikirnya, “Kalau memang sudah tidak ada rezeki
lagi buat saya, tentu sudah waktunya Allah memanggil saya. Mengapa pula harus
bingung?
Intinya, pikirannya
sudah sumeleh. Dan pelahan tapi pasti, semua keluarganya mengikuti jejaknya
memeluk Islam.
Setelah memeluk Islam,
ia merasakan keluarganya makin harmonis dan tenteram. Tidak suka bertengkar,
dan tidak ada suasana saling mencurigai. Beberapa kali ia diminta mengisi
pengajian oleh masyarakat, dan semampunya ia penuhi. Bukan dengan maksud
menggurui, tetapi ia merasa itu sebagai kewajiban seorang muslim. Apalagi
sebagai dalang wayang kulit, sedikit banyak ia mengetahui tentang filosofi
cerita wayang, yang sebelumnya digunakan Wali Songo sebagai media dakwah. Dalam
pengajian, seringkali ia menceritakan sejarah hidupnya yang dahulu tidak
karu-karuan, mbejujak (rusak).
Dari pengajian
yang disampaikannya, ada beberapa orang yang akhirnya mengikuti jejaknya, yaitu
memeluk agama Islam. Ketika berlangsung pengajian, terkadang ada jamaah yang
bertanya, apa kalau ceramah itu ia mendapatkan uang saku? Dengan jujur dijawabnya,
“Tidak, kalau mau cari-cari uang, itu sudah saya dapatkan dari mendalang!!”
Setelah menjadi
muslim, ia harus lebih banyak belajar mendalami Islam. Dalam hal ini, di rumahnya
di Karang anyar, ia selalu mendatangkan mubaligh setiap bulannya, seperti Kiai
Ali Darokah, H.Amir, H. Alwi dan yang lainnya, dan mengundang masyarakat di
sekitarnya. Setelah pengajian selesai, ia meneruskannya dengan pentas wayang
yang selalu disisipinya dengan pesan-pesan dakwah. Setelah Islamnya , ia
terobsesi dengan Wali Songo yang menjadikan wayang kulit sebagai media dakwah.
Kali ini ia ingin menjadi ‘pewaris’ Wali Songo, dan menjadikan pekerjaan yang
telah ditekuninya selama bertahun-tahun sebagai media dakwah.
Disunting dari : Ki Manteb Sudharsono : Sudah Mantap dalam Islam
Swaramuslim.net, Journey to Islam, 01 Nov 2003 - 11:07 pm (1.006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar