Senin, 13 Oktober 2014

Willibrordus Surendra Broto Rendra (WS Rendra), Jalan Berliku Merasakan Nikmatnya Iman

Hampir tidak ada orang Indonesia yang tidak mengenal nama WS Rendra, seorang penyair dan sastrawan yang bisa dikatakan mempunyai jiwa ‘memberontak’ terhadap kemapanan. Terlahir dengan nama WILLIBRORDUS SURENDRA BROTO RENDRA, di Solo, tanggal 7 November 1935, pasti bisa ditebak bagaimana lingkungan keluarganya, yakni agama Katholik yang kuat. Ia menyelesaikan SMA nya di St Josef Solo, dilanjutkan pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta, ditambah lagi dengan American Academy of Dramatic Arts, New York, AS pada tahun 1967.
Ia memang telah memilih jalan hidup sebagai seniman. Sejak muda, ia telah malang-melintang di dunia teater. Bahkan, kemudian ia dikenal sebagai "dedengkot" Bengkel Teater sewaktu masih tinggal di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater inilah ia mendapatkan segalanya,: popularitas, istri, dan juga materi. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dalam kehidupannya sebagai seniman yang miskin pada waktu itu, ia dapat memboyong seorang putri Keraton Prabuningratan, BRA Sitoresmi Prabuningrat, yang kemudian menjadi istrinya yang kedua.
Melalui perkawinannya dengan putri keraton inilah, akhirnya WS Rendra menyatakan dirinya untuk memeluk agama Islam. Dalam rentang waktu perkawinan yang cukup panjang, yakni setelah memperoleh 4 orang anak, perkawinannya dengan ‘putri keraton’ ini akhirnya kandas, tetapi ia tetap keyakinannya sebagai seorang muslim, tidak kembali ke agama Katholik yang dipeluknya sebelum perkawinan keduanya.
Meskipun sudah menjadi orang Islam, tetapi WS Rendra masih suka meminum minuman keras. Mungkin karena kurang memahami ilmu-ilmu keislaman, seenaknya saja ia berkata bahwa tidak ada masalah dengan hal itu. Waktu itu ia selalu berkata enteng, sesuai dengan jiwa senimannya, “Kalau saya membaca bismillahirrahmanirrahim, maka minuman keras menjadi air biasa saja!!”
Setelah perkawinannya dengan istrinya yang ketiga, yakni Ken Zuraida, ia semakin rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan bukan suatu kebetulan juga, jika ia kemudian bergabung bersama Setiawan Djodi dan Iwan Falls dalam grup Swami dan Kantata Takwa. Pemahaman dan keyakinannya kepada Islam yang makin mendalam yang membuatnya mengambil keputusan itu.
Bagi Rendra, puisi bukan hanya sekadar ungkapan perasaan seorang seniman, tetapi lebih dari itu, puisi merupakan sikap perlawanannya kepada setiap bentuk kezaliman dan ketidak-adilan. Dan, itulah manifestasi dan sikapnya dalam ‘mengamalkan’ perintah amar ma'ruf nahi munkar seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an.
Sebagai penyair, ia berusaha konsisten dengan sikapnya. Baginya, menjadi penyair pada hakikatnya menjadi cermin hati nurani dan kemanusiaan. Penyair itu bukan buku yang dapat dibakar atau dilarang, bukan juga benteng yang bisa dihancur leburkan. Ia adalah hati nurani yang tidak dapat disamaratakan dengan tanah. Mereka memang dapat dikalahkan, tetapi tidak dapat dihancurkankan begitu saja hingga melebur dengan tanah.
Ketika akhirnya ia berkesempatan untuk naik haji, apa saja yang diminumnya masih terasa seperti minuman keras bermerek Chevas Regal. Minum di sini, minum di sana, rasanya seperti minuman keras, bahkan, air zamzam pun dirasanya seperti Chevas Regal, sampai ia bersendawa, seperti orang yang selesai meminum minuman keras. Ia sangat sedih mengalami keadaan itu. Dengan lirih, ia berdoa. "Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun, ampun, ampun, ya Allah….."
Rendra betul-betul merasa takut merasakan hal itu, jangan-jangan taubatnya tidak diterima Allah. Ia merasa malu, kecut, sekaligus juga marah, sehingga rasanya ia ingin berteriak keras, "Bagaimana, sih, ya Allah? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya, dong!"
Ia baru bisa merasakan segarnya air lagi setelah menyelesaikan rangkaian ibadah haji, yakni dalam penerbangan dari Jedah ke Amsterdam. Mungkin itu menjadi pertanda kalau hajinya diterima, yakni Haji Mabrur. Ia bersyukur dalam hati, “Alhamdulillah! Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman keras lagi. (Albaz - dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website).

Disunting dari : WS Rendra : Air zam-zam pun rasanya seperti minuman Chevas Regal
Swaramuslim.net, Journey to Islam, 10 Dec 2005 - 5:40 pm (1.107)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar